Senin, 17 Desember 2007

Semangati Peserta UN, Ketum IPPNU: Jangan Nyontek

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ujian Nasional (UN) untuk siswa kelas tiga Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengeh Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah digelar serentak mulai Senin (4/4) kemarin. Sesuai data Kementerian Pendidikan dan Budaya Republik Indonesia (Kemendikbud RI), UN tahun ini akan diikuti sebanyak 3.302.673 siswa di seluruh Indonesia.

Contek-mencontek, bocoran soal jawaban, alat komunikasi di ruang ujian hingga merubah jawaban soal yang dilakukan oknum pejabat sekolah merupakan persoalan klasik yang seringkali ditemukan saat UN berlangsung. Persoalan-persoalan tersebut selalu terulang setiap tahunnya.?

Semangati Peserta UN, Ketum IPPNU: Jangan Nyontek (Sumber Gambar : Nu Online)
Semangati Peserta UN, Ketum IPPNU: Jangan Nyontek (Sumber Gambar : Nu Online)

Semangati Peserta UN, Ketum IPPNU: Jangan Nyontek

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Puti Hasni mengingatkan peserta UN untuk mengerjakan soal sebaik mungkin, jujur dan tidak mencontek. “Kerjakan soal sebaik mungkin. Jangan menyontek. Percayalah dengan kemampuan diri sendiri,” tuturnya.

Lebih lanjut, ia berharap siswa-siswi Indonesia akan menjadi kader terbaik bangsa jika mereka mengerjakan soal UN dengan penuh kejujuran, tanggung jawab, dan kerja keras.?

“Majulah pelajar Indonesia, makin jaya, dan mampu menjadi kader terbaik bangsa,” tandas perempuan jebolan Buntet Pesantren tersebut. (Muchlishon Rochmat/Zunus)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tegal, Ahlussunnah, AlaSantri Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 11 November 2007

Andai Tuhan Tak Menutup Aibku

Andai Tuhan Tak Menutup Aibku

Takkan sanggup rasanya,

Aku memperbincangkan aib manusia lain

Bila aku ingat, kita juga punya aib

Andai Tuhan Tak Menutup Aibku (Sumber Gambar : Nu Online)
Andai Tuhan Tak Menutup Aibku (Sumber Gambar : Nu Online)

Andai Tuhan Tak Menutup Aibku

Takkan sempat rasanya,

Aku menggunjing salah manusia lain

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Bila aku ingat, kita punya kesalahan

Andai saja aibku dan salahku itu tampak

Pastilah aku lebih hina dari yang ku cerca

Pastilah aku lebih salah dari yang kuanggap salah

Aku bukan manusia baik,

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hanya saja tuhan menyayangiku,

dengan menutup aib-aibku.

Iman yang kumiliki hari ini,

Bisa saja lari meninggalkan diri hina ini

Menampakkan keburukan hati ini

Menghinakanku sehina-hinanya?

Malang, 24 Oktober 2016

Mukhammad Lutfi,? Sahabat PMII Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Abdi Ma’had Sunan Ampel Al-Ali UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah PonPes, Nasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Rabu, 10 Oktober 2007

Menimbang Wacana Full Day School

Oleh Ahmad Saifuddin



Beberapa hari terakhir, full day school atau sekolah sehari penuh menjadi tema pembicaraan yang hangat setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Muhadjir Effendy, mewacanakan full day school diterapkan di sekolah dasar dan menengah negeri di Indonesia. Seperti yang sudah diketahui bahwa sistem full day school tersebut sudah terlebih dahulu diimplementasikan oleh sekolah-sekolah swasta.

Menimbang Wacana Full Day School (Sumber Gambar : Nu Online)
Menimbang Wacana Full Day School (Sumber Gambar : Nu Online)

Menimbang Wacana Full Day School

Sesaat setelah dilontarkannya wacana tersebut, gelombang pro dan kontra mengalir dengan cepat. Pihak yang mendukung wacana full day school menganggap bahwa sistem full day school adalah sistem pendidikan yang dapat membantu para orang tua yang memiliki jam kerja tinggi sehingga dengan sistem full day school, anak bisa belajar dalam lingkungan yang terarah. Selain itu, anak bisa belajar di sekolah selama orang tua belum pulang dari bekerja. Dengan demikian, anak berada dalam lingkungan yang diawasi.

Sedangkan pihak yang menolak sistem full day school menganggap sistem tersebut bisa mereduksi keterampilan interaksi sosial anak dengan masyarakat sekitar dan membebani pikiran dan psikologis anak. Mereduksi keterampilan interaksi sosial anak dengan masyarakat karena anak dididik menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Sehingga tidak ada waktu untuk berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Dengan demikian, dikhawatirkan anak tidak terdidik untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Terkait wacana sistem sekolah sehari penuh tersebut, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Muhadjir Effendy menjelaskan bahwa sistem full day school yang dimaksud bukan berarti belajar sehari penuh tetapi memastikan peserta didik mengikuti penanaman pendidikan karakter. Kegiatan peserta didik nantinya akan ditambah dengan kegiatan ko-kurikuler seperti kesenian dan keterampilan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Di sisi lain, Asrorun Ni’am (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyatakan bahwa sistem full day school atau sekolah sehari penuh ini akan mengurangi intensitas interaksi dengan orang tua. Pada akhirnya, akan mempengaruhi tumbuh kembang anak yang kurang optimal. Selain itu, sistem pendidikan juga harus menghargai keragaman daerah masing-masing yang memiliki ciri khas dalam mewujudkan pendidikan yang optimal.

Tulisan ini akan memfokuskan pada berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sistem full day school atau sekolah sehari penuh diterapkan secara menyeluruh. Namun, sebelum itu, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai sistem full day school. Dalam bukunya Full Day School & Optimalisasi Perkembangan Anak (2008: 61), Wiwik Sulistyaningsih mengemukakan bahwa full day school merupakan model sekolah umum yang memadukan sistem pengajaran agama secara intensif. Dengan demikian, full day school menerapkan tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa dan kegiatan rekreatif. Maka dari itu, pembelajaran dimulai pukul 07. 00 WIB dan pulang pada pukul 15.00 WIB. Sedangkan pada sekolah-sekolah umum atau sekolah-sekolah konservatif, anak biasanya sekolah sampai pukul 13.00 WIB. Rasio guru pada sistem full day school idealnya adalah satu guru bertanggung jawab pada sepuluh anak.

Sistem full day school hadir sebagai jawaban bagi zaman yang menunjukkan krisis moral dan di sisi lain, tuntutan pekerjaan orang tua semakin tinggi sehingga jam kerja pun semakin bertambah. Meskipun demikian, sistem ini perlu dikaji dari berbagai segi. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa sistem sekolah sehari penuh ini idealnya satu guru bertanggung jawab atas sepuluh anak. Pertanyannya, apakah sekolah dan pemerintah bisa mempersiapkan guru yang memadai sehingga rasio ideal tersebut bisa dicapai? Permasalahan selanjutnya adalah, apakah sekolah dan pemerintah mampu membentuk guru menjadi guru yang terampil dan kuat dalam membimbing dan mendidik anak sehari penuh?

Kemungkinan permasalahan yang lain bisa saja muncul. Sistem sekolah sehari penuh memberikan tambahan berupa pelajaran keagamaan. Apakah sekolah dapat mempersiapkan guru yang berkompeten dalam bidang keagamaan untuk membimbing anak? Karena tidak semua guru berkompeten dalam bidang keagamaan. Bidang keagamaan juga bukan merupakan bidang yang bisa dengan mudah dipelajari hanya dengan buku dan guru biasa. Terlebih lagi banyak hal dalam keagamaan yang bersifat abstrak dan butuh metode atau teknik khusus untuk memahamkan anak yang dalam masa perkembangannya, anak-anak sampai remaja itu memiliki karakter yang ingin tahu dan tidak puas akan jawaban.

Selain itu, kalau pun di sistem sekolah sehari penuh memberikan tambahan pelajaran keagamaan, hasilnya akan kurang maksimal. Hal ini disebabkan karena varian pelajaran keagamaan yang diberikan terbatas, misalkan hanya hafalan surat. Bisa kah sekolah-sekolah menyediakan pelajaran Al Qur’an, hadits, tauhid, tarikh Nabi, tajwid, nahwu, sharaf, fiqh, atau pelajaran keagamaan lain yang bersifat khusus (bagi penganut agama selain Islam)? Jika pun bisa, lalu apa bedanya antara sekolah umum dengan sekolah keagamaan? Sehingga akan berakibat pada kurikulum yang dianut. Jika pun bisa, seberapa jauh sekolah bisa menyediakan guru-guru yang berkompeten dalam pelajaran-pelajaran keagamaan itu?

Selain itu, stamina anak sudah berkurang meskipun sekolah sudah menyediakan waktu istirahat. Tetapi apakah istirahatnya tersebut bisa dipastikan istirahat tidur siang? Berbeda halnya jika anak pulang sekolah jam 13.00, anak bisa makan siang dan istirahat di rumah. Orang tua bisa berinteraksi dengan anak setelah anak pulang sekolah kemudian mengkondisikan anak untuk tidur. Lalu pada sore hariya selepas ‘Ashar, anak diikutkan ke pembelajaran agama di madrasah sore atau TPA. Hasilnya akan lebih maksimal. Terlebih lagi di madrasah dan TPA, pengajarnya lebih berkompeten dalam bidang keagamaan, serta jenis pembelajaran keagamaannya lebih banyak dan pembahasannya lebih mendalam.

Wacana Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Muhadjir Effendy, menerapkan sistem sekolah sehari penuh karena ingin membentuk karakter dengan kegiatan permainan dan keterampilan. Konsekuensinya, sekolah juga harus bisa menyediakan tenaga pengajar yang berkompeten dalam bidang itu. Selain itu, pengajar keterampilan dan permainan juga harus memahami metode transfer pengetahuan dan internalisasi nilai pada peserta didik, sehingga tidak sekedar berkompeten dalam bidang keterampulan dan permainan. Jika pengajar keterampilan dan permainan haya berkompeten dalam memberikan keterampilan dan permainan tanpa bisa menginternalisasikan nilai di balik keterampilan dan permainan itu, pembentukan karakter akan kurang maksimal.

Seperti yang sudah dijelaskan, sistem sekolah sehari penuh merupakan jawaban bagi orang tua yang memiliki kesibukan tinggi dalam bekerja. Lalu, apakah semua orang tua di semua daerah di Indonesia sibuk bekerja sampai sore dan malam hari? Tentu saja tidak. Di sisi lain, terdapat banyak fenomena bahwa sistem sekolah sehari penuh yang berniat membantu orang tua mendidik anak, disalahpahami oleh banyak orang tua bahwa sudah cukup bagi anak untuk belajar di sekolah. Sehingga, kondisi yang ada adalah pelemparan tanggung jawab mendidik anak dari orang tua ke sekolah. Padahal, orang tua yang justru memiliki tanggung jawab utama dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Kunci terbentuknya karakter anak adalah dari bagaimana orang tua berinteraksi dan seberapa jauh orang tua memiliki kedekatan emosional dengan anak.

Terlebih lagi, jelas Muhadjir Effendy, sistem sekolah sehari penuh yang diwacanakan akan mengakhiri jam pelajarannya pada pukul 17.00. Anak akan kelelahan dan mempengaruhi intensitas komunikasi dengan orang tua. Ini yang dikhawatirkan oleh Asrorun Ni’am (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Padahal, orang tua adalah kunci tumbuh kembang anak, terlebih lagi mengenai perkembangan emosi dan psikologisnya. Orang tua adalah pihak yang selalu bersama dengan anak sepanjang masanya. Sehingga, orang tua yang menjadi kunci perkembangan emosi dan psikologis anak. Orang tua harus memenuhi kewajibannya dalam memenuhi kebutuhan asah, asih, dan asuh anak. ketika orang tua dapat memenuhi kebutuhan asah, asih, dan asuh anak, maka karakter anak akan terbentuk dengan baik.

Belum lagi intensitas sosialisasi anak dengan lingkungan sekitarnya akan sangat terbatas juga. Meskipun wacananya hari Sabtu dan Minggu menjadi hari libur, tetap saja berpengaruh pada pola komunikasi anak dengan keluarga dan masyarakat. Karena yang dibutuhkan dalam berkomunikasi dan berinteraksi bukan soal kuantitas waktu, tetapi intensitas dan kontinuitas sehingga terbentuk pola yang rutin dan terus menerus dilakukan sehingga membentuk karakter dan sikap anak. Jika sistem sekolah sehari penuh menawarkan belajar sampai sore dan dua hari libur, kuantitas komunikasi dan interaksi dengan keluarga mungkin bisa saja tercukupi, namun kontinuitas dan intensitasnya tidak dapat terpenuhi sehingga tumbuh kembang anak akan kurang maksimal.

Dampak lainnya adalah bisa saja orang tua menjadi kurang peka terhadap tumbuh kembang anak karena kebersamaan orang tua dengan anak otomatis akan berkurang juga. Selain itu, orang tua bisa kesulitan untuk mendekati anak. Efeknya, kedekatan emosional orang tua dengan anak akan berkurang. Pada akhirnya, orang tua kurang mampu membaca sikap anak dan permasalahan anak. Dampak masa depannya bisa saja memberikan anggapan pada anak bahwa keluarga bukan “tempat kembali” ketika anak bermasalah.

Berbeda dengan sistem boarding school atau pondok pesantren, meskipun anak memiliki intensitas pertemuan dengan orang tua yang sangat terbatas, namun dalam pondok terdapat figur (kiai atau ustadz) yang selalu mengawasi dan menginternalisasi nilai dan karakter. Terlebih lagi doktrin tentang adab menghormati orang tua sangat ditekankan. Sehingga, karakter menghormati dapat terbentuk secara maksimal. Sistem pesantren juga menganut pembelajaran yang berkala atau pada waktu-waktu tertentu namun rutin dan kontinyu sehingga tidak memforsir stamina individu.

Dengan demikian, sistem sekolah sehari penuh tidak perlu terburu-buru untuk diterapkan. Perlu kajian mendalam dan dalam jangka waktu yang panjang. Karena untuk membentuk anak tahan banting dan berkarakter tidak harus dengan sistem sekolah sehari penuh, tetapi dengan orang tua memenuhi kebutuhan asah, asuh, asih anak. Kebijakan yang baik bukan didasarkan atas perbedaan kebijakan yang baru dengan kebijakan yang lama, namun didasarkan pada seberapa jauh analisis SWOT dilakukan pada kebijakan yang akan dicanangkan. Wallâhu a’lam bish shawâb.

Penulis adalah psikolog pendidikan dan wakil sekretaris PW IPNU Jawa Tengah



Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nahdlatul Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 01 Oktober 2007

PMII Purworejo Kawal Nasib Buruh Toko

Purworejo, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menindak lanjuti aksi turun jalan memperjuangkan kenaikan gaji buruh toko di Purworejo, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kabupaten Purworejo mengadakan audiensi ke Kantor Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos) Purworejo, Senin (5/5).

PMII Purworejo Kawal Nasib Buruh Toko (Sumber Gambar : Nu Online)
PMII Purworejo Kawal Nasib Buruh Toko (Sumber Gambar : Nu Online)

PMII Purworejo Kawal Nasib Buruh Toko

Kedatangan empat mahasiswa pengurus PMII tersebut diterima Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja Disnakertransos Purworejo Sujana SH. Dalam pertemuan tersebut, PMII mengadukan temuan di lapangan terkait rendahnya gaji buruh toko yang masih jauh dari UMK yang ditetapkan Gubernur Jawa Tengah untuk Kabupaten Purworejo sebesar Rp 910 ribu per bulan.

"Terus terang kami prihatin dengan rendahnya gaji teman-teman buruh yang jauh dari UMK Purworejo. Untuk itu, kami meminta agar Disnakertransos mengambil langkah-langkah konkrit agar nasib mereka mengalami perbaikan," kata jurubicara PMII, Muhammad Arifin.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Arifin menambahkan, biar bagaimanapun ia merasa bahwa rendahnya gaji buruh toko di Purworejo mengharuskan pemerintah untuk turun tangan. Pasalnya, jika hal ini dibiarkan para buruh khususnya buruh toko tidak akan pernah hidup dengan layak karena gaji yang diterimanya sangat rendah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Meskipun begitu kami menyadari bahwa iklim ekonomi di Purworejo kurang memungkinkan bagi para pengusaha untuk memberikan upah yang sesuai dengan UMK yang ditetapkan. Namun paling tidak, dengan adanya pengawasan atau himbauan dari Pemerintah akan menjadikan gaji mereka sedikit naik," tandasnya.

Selain itu, Arifin juga menyampaikan beberapa pekerja dibeberapa toko yang mendapat perlakuan kurang manusiawi dari majikannya. "Dari penelusuran kami ada toko-toko yang dengan seenaknya main pecat kepada karyawannya terutama saat masa training. Dengan sistem ini, toko itu selalu mempekerjakan karyawan dengan gaji murah," tambahnya.

Menanggapi keluhan tersebut, Sujana SH menyampaikan terima kasih kepada para mahasiswa yang memiliki kepedulian terhadap nasib para buruh khususnya buruh toko. Menurutnya permasalah buruh toko yang mayoritas berada disektor usaha kategori marginal memang cukup memperihatinkan.

"Secara berkala kami juga melakukan monitoring dan pengawasan ke toko-toko. Jadi kami sebenarnya juga sudah tahu dengan pemasalah gaji buruh tersebut," katanya.

Namun, sambung Sujana, pihaknya tidak bisa berbuat banyak karena pertama regulasi UMK tersebut hanya diperuntukkan bagi usaha formal bukan usaha marginal yang mempekerjakan karyawan dibawah 10 orang.

"Terus terang kami tidak bisa berbuat banyak karena melihat iklim ekonomi di Purworejo yang belum memungkinkan. Selain itu kalau kami melangkah lebih jauh misalnya dengan membuat edaran untuk menaikkan gaji juga melanggar karena pengupahan bagi karyawan usaha marginal belum diatur oleh undang-undang ataupun perda," tandasnya. (Lukman Hakim/Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah RMI NU Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 30 Agustus 2007

Ketua PP IPPNU Kunjungi Komisariat Unnes

Semarang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Farida Farichah selaku Ketua PP IPPNU melakukan kunjungan ke IPNU-IPPNU Komisariat Unnes pada 12 Januari 2013. Kunjungan diisi dengan sharing dan makan bersama dalam suasana yang santai. 

Ketua PP IPPNU Kunjungi Komisariat Unnes (Sumber Gambar : Nu Online)
Ketua PP IPPNU Kunjungi Komisariat Unnes (Sumber Gambar : Nu Online)

Ketua PP IPPNU Kunjungi Komisariat Unnes

Kunjungan tersebut merupakan agenda yang luar biasa bagi rekan-rekanita IPNU-IPPNU Komisariat Unnes. Mengingat bahwa Farida dulu adalah alumni dari IPPNU komisariat Unnes.

Dalam kunjungan tersebut hadir beberapa alumni antara lain Nur Syafaah (ketua IPPNU Unnes 2006), Maghfiroh (Ketua IPPNU Unnes 2008), Dian (ketua IPPNU Unnes 2012), Dina (Wakil Ketua IPPNU Unnes 2012) dan Irmawan (ketua IPNU Unnes 2012). 

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Acara tersebut dihadiri oleh pengurus IPNU-IPPNU Unnes 2013 Aan (Ketua IPNU), Ruqy (ketua IPPNU) dan pengurus yang lain (Mailiz, Ana,  Afifah, Singgih dan Zaqi). Dalam forum tersebut, “srikandi-srikandi” IPPNU Unnes saling berbagi pengalaman dan melepas rasa rindu setelah beberapa lama tidak bertemu.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Ini merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga bisa mendapat pengalaman langsung dari alumni-alumni,” ujar Ruqy.

Kepengurusan IPNU-IPPNU Komisariat Unnes sangat beruntung bisa didatangi langsung oleh ketua IPPNU, dan berharap dengan kedatangan Farida akan menambah kesemangatan bagi pengurus-pengurus baru.

“Ini memberi semangat bagi kita agar bisa mengikuti jejak alumni kita ini, sekarang tugas kita adalah merapatkan barisan, dengan meningkatkan dan mengaplikasikan Belajar, Berjuang dan Bertaqwa di kepengurusan yang baru di kampus Universitas Negeri Semarang,” ujar Aan.

Redaktur: Mukafi Niam

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pertandingan Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 21 Agustus 2007

Pesantren Tebuireng Tolak RUU Tembakau

Jombang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan dinilai menjadi ancaman serius bagi Indonesia dalam upaya meraih bonus demografi. RUU ini juga dinilai hanya menguntungkan segelintir pemilik industri rokok dan merugikan kesehatan masyarakat.

"Salah satu indikasinya, daftar 10 orang terkaya di Indonesia ternyata didominasi oleh pengusaha rokok," kata pegiat Social Movement Institute (SMI) Eko Prasetyo dalam diskusi dan konferensi pers Menolak RUU Pertembakauan di Pesantren Tebuireng, Kamis (24/11) sore.

Pesantren Tebuireng Tolak RUU Tembakau (Sumber Gambar : Nu Online)
Pesantren Tebuireng Tolak RUU Tembakau (Sumber Gambar : Nu Online)

Pesantren Tebuireng Tolak RUU Tembakau

Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Prijo Sidipratomo yang turut hadir dalam diskusi ini mengaku prihatin melihat fakta bahwa lebih dari 50 persen penduduk miskin ternyata terjebak candu rokok. "Uang yang dibelanjakan masyarakat untuk membeli rokok jauh melebihi belanja untuk kesehatan dan pendidikan," ujarnya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mengutip data Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Prijo menyebut rokok menempati peringkat kedua konsumsi rumah tangga termiskin setelah padi-padian. "Belanja rokok juga senilai 14 kali lipat belanja daging, 11 kali biaya kesehatan dan 7 kali lipat biaya pendidikan," tegas Prijo.

Karena itu, Prijo mengajak kalangan pesantren dan tokoh masyarakat untuk mendesak agar RUU Pertembakauan dihapus dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016-2019. "RUU ini hanya akan melindungi kepentingan perusahaan rokok dan mengancam masa depan bangsa, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi," tandasnya.

Menanggapi hal itu, Pengasuh Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) menyatakan kesiapan pesantren yang dipimpinnya untuk secara proaktif mengampanyekan bahaya rokok. "Sejak saya masuk ke Tebuireng pada 2006, larangan merokok itu sudah ada. Saat ini, larangan tersebut juga telah berlaku bagi kalangan guru," ujar Gus Sholah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Meski demikian, Gus Sholah mengakui, masih banyak kalangan kiai dan pesantren (di luar Tebuireng) yang merokok. "Karena itu, kita ingin memberi informasi kepada kalangan santri kenapa? mereka dilarang merokok. Agar mereka sadar (terhadap bahaya rokok). Mungkin saja mereka merokok karena orang tuanya merokok, atau mungkin kawan dan tetangganya merokok," tutur adik kandung Gus Dur ini.

Gus Sholah mengaku miris menyaksikan data konsumsi rokok yang jauh melebihi belanja kesehatan dan pendidikan. "Tugas kita bersama untuk menyiapkan generasi masa depan, yang kita sebut generasi emas. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi," harapnya.

Di akhir acara, Gus Sholah dan para tokoh masyarakat yang hadir dalam kesempatan ini menandatangani pernyataan bersama berjudul Tolak RUU Pertembakauan. Pernyataan yang berisi sepuluh poin tuntutan tersebut antara lain mendorong pemerintah dan DPR RI untuk menarik dan membatalkan RUU Pertembakauan dari Prolegnas 2016-2019 demi melindungi bangsa dari keterpurukan multisektor akibat konsumsi rokok.

Selain Gus Sholah, Prijo Sidipratomo dan Eko Prasetyo, pernyataan bersama itu juga ditandatangani oleh budayawan D Zawawi Imron dan guru besar antropologi hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Djawahir Tantowi. Mudir Pesantren Tebuireng Luqman Hakim dan beberapa anggota Komnas PT juga turut menandatangani pernyataan tersebut. (Ibnu Nawawi/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Meme Islam, Sholawat, Ulama Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 24 Juli 2007

Bayt Al-Quran sebagai Destinasi Wisata Religi

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Gedung Bayt Al-Qur`an dan Museum Istiqlal (BQMI) yang berdiri megah di dekat pintu tiga Taman Mini Indonesia Indah (TMII) merupakan salah satu destinasi wisata religi yang patut dikunjungi. Setiap bulannya, rata-rata 10 ribu pengunjung datang ke tempat asri ini.

Bayt Al-Quran sebagai Destinasi Wisata Religi (Sumber Gambar : Nu Online)
Bayt Al-Quran sebagai Destinasi Wisata Religi (Sumber Gambar : Nu Online)

Bayt Al-Quran sebagai Destinasi Wisata Religi

Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, BQMI merupakan wujud kontribusi Kemenag. Ia berharap perawatannya terus ditingkatkan, dengan cara meningkatkan fasilitas dan pelayanan bagi masyarakat umum.

“Oleh karenanya, revitalisasi Bayt Al-Qur`an harus terus dilakukan, baik dari segi fisik maupun fungsi,” terang Lukman saat meresmikan Milad ke-18 BQMI dan Promosi Kelitbangan Kementerian Agama di aula utama Bayt Al-Qur`an TMII Jakarta, Rabu (6/5).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sejak diresmikan oleh Presiden ke-2 RI HM Soeharto pada 20 April 1997, BQMI telah mendedikasikan dirinya sebagai pusat edukasi, konservasi, dan rekreasi keagamaan, terutama terkait dengan mushaf Al-Qur`an dan karya seni budaya bangsa yang bernuansa Islam.

“Ini merupakan upaya Kementerian Agama dalam melestarikan warisan budaya dan keagamaan Islam Nusantara, selain merupakan penghormatan dan penghargaan kita terhadap jasa para pendahulu kita. Transformasi budaya dan sejarah tidak boleh terhenti dari satu generasi ke generasi berikutnya,” ujar Lukman.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Menurut dia, dari segi fisik, Badan Litbang dan Diklat yang bertanggung jawab atas pengelolaan Bayt Al-Qur`an dan Museum Istiqlal, dan harus dapat memelihara gedung yang megah tersebut dengan paduan arsitektur yang bernilai tinggi ini. Sementara dari segi fungsi, Menag berharap tempat ini dapat menjadi “Jendela Islam Nusantara”, sebagaimana Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menjadi miniatur kepulauan Indonesia.

“Oleh karenanya, kegiatan Milad ke-18 BQMI ini merupakan momentum untuk melakukan introspeksi dalam rangka meningkatkan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat,” tandas putra bungsu Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri ini.

BQMI merupakan salah satu dari dua museum Al-Qur’an yang ada di dunia. Selain di Indonesia, Museum Al-Qur’an kedua tercatat berada di Bahrain, Afrika Utara. Pengelolaan BAMI menjadi tanggung jawab Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMA), Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

Berbagai koleksi dipamerkan di museum ini, antara lain Mushaf Al-Quran yang dibuat dari berbagai media dengan ukuran variatif. Mulai dari yang terkecil hingga dengan ukuran lebih dari 200 x 200 cm. Salah satunya adalah Mushaf Al-Mukhtar.

“Mushaf ini ditulis oleh Ustadz Misbakhul Munir. Penulisan mushaf berukuran 200 x 90 cm ini dimulai pada September 2011, dan selesai pada Februari 2013. Mushaf ini terdiri dari 30 lembar di mana setiap lembarnya memuat satu juz Al-Qur’an,” terang Ketua LPMA Muchlis M Hanafi.

Doktor jebolan Universitas Al-Azhar Cairo Mesir ini dengan semangat menjelaskan berbagai koleksi benda-benda peninggalan sejarah Islam yang melengkapi pameran di Museum Istiqlal tersebut. (Musthofa Asrori/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pertandingan, AlaSantri Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 24 Mei 2007

Kerja Sama Ultra Mikro dengan NU, Pemerintah Sediakan Anggaran 1,5 Triliun

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tiga kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Koperasi dan UMKM, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika menandatangani kerja sama pemberdayaan masyarakat dengan Nahdlatul Ulama (NU), Kamis (23/2) di Gedung PBNU Jakarta.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kerja sama ini terutama dalam kegiatan pemberdayaan ekonomi. Dalam rangka memperkuat aktivitas ekonomi di tengah masyarakat.

Kerja Sama Ultra Mikro dengan NU, Pemerintah Sediakan Anggaran 1,5 Triliun (Sumber Gambar : Nu Online)
Kerja Sama Ultra Mikro dengan NU, Pemerintah Sediakan Anggaran 1,5 Triliun (Sumber Gambar : Nu Online)

Kerja Sama Ultra Mikro dengan NU, Pemerintah Sediakan Anggaran 1,5 Triliun

“Tahun 2017 ini, ada anggaran sebesar 1,5 T yang ada di dalam program investasi pemerintah yang diperuntukan bagi usaha-usaha ultra mikro. Memang nilainya dibawah kredit usaha rakyat (KUR) yang mencapai 100 Triliun,” ujar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menerangkan, tim dari Kementerian Keuangan telah melakukan diskusi yang sangat panjang dengan tim Kemkominfo dan Menteri Koperasi dan UMKM. Karena uang ini bukan hadiah yang langsung hilang tetapi untuk modal.?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Bukan pula hanya untuk usaha tetapi juga sebagai salah satu program pembentukan karakter, bagaimana mencipatakan sebuah keteraturan di dalam aktivitas kegiatan ekonomi masyarakat,” jelas Sri Mulyani.

Menurutnya tepat jika menggandeng Kementerian Koperasi dan UMKM serta Kemkominfo, karena masyarakat dan warga NU pada umumnya banyak menggeluti usaha menengah dan kecil. Kemkominfo juga ada program pemberdayaan masyarakat melalui pemanfaatan teknologi dan informasi.

“Kerja sama lintas institusi ini akan memunculkan dana lebih ditambah banyak program sehingga manfaatnya akan jauh lebih besar,” ucap Sri Mulyani. (Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah AlaSantri Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 19 Mei 2007

Peringati Maulid, JATMAN Sumedang Gelar Manakib Kubro dan Ijazahan

Sumedang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, pengurus Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mutabaroh An-Nahdliyyah (JATMAN) Kabupaten Sumedang menggelar kegiatan Manakib Kubro dan Khataman Ijazah Manakib. Kegiatan ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyyah Tanjungkerta, Sumedang Jawa Barat, Rabu (29/11). 

Ketua JATMAN Kabupaten Sumedang, Asep Munawar, mengatakan bahwa setiap tanggal sebelas bulan hijriah, Jatman Sumedang melalui organisasi sayapnya Majelis Nurul Burhan selalu istiqomah melaksanakan pengajian Manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jiilani RA. 

Peringati Maulid, JATMAN Sumedang Gelar Manakib Kubro dan Ijazahan (Sumber Gambar : Nu Online)
Peringati Maulid, JATMAN Sumedang Gelar Manakib Kubro dan Ijazahan (Sumber Gambar : Nu Online)

Peringati Maulid, JATMAN Sumedang Gelar Manakib Kubro dan Ijazahan

“Berhubungan bulan ini bertepatan dengan bulan Robiul Awal (Mulud), dimana di bulan ini Rasulullah SAW dilahirkan, maka manaqibnya dinamakan manakib kubro,” ujarnya.

Dalam kesempatan ini juga dilaksanakan khataman ijazah manakib untuk para jamaah Majelis Nurul Burhan yang sudah lulus mengamalkan ijazah manakib. Tiga bulan yang lalu Majelis Nurul Burhan melaksanakan ijazah manaqib kepada beberapa jamaah.

Kitab manakib yang diijazahkan yaitu Kitab Manakib An-Nurul Burhani, sebuah kitab  yang disusun oleh Syekh Muslih Abdurrahman Al Maraqy. 

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Selama tiga bulan mereka yang diijazah harus mengamalkan ketentuan dan syarat ijazah manaqib. Alhamdulillah yang khatam mengamalkan ijazah manaqibnya malam ini di wisuda,” terang Asep. 

Asep juga menambahkan bahwa kegiatan maulid nabi ini merupakan bukti bahwa kami pengurus Jatman Sumedang dan Jamaah Majelis Nurul Burhan sangat mencintai Rasulullah SAW. 

Sebuah hadits mengatakan, Rasululloh SAW bersabda bahwa siapa orang yang mencintaiku, maka akan bersamaku nanti di Surga. 

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Semoga dengan memperingati maulid nabi dan kegiatan manaqib ini, kami semua bisa masuk surga dan bisa bertemu dengan Rosulullah SAW,” tandas Asep. (Ayi Abdul Kohar/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Olahraga, Pertandingan, Kiai Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 10 Mei 2007

Estetiko-Politik Seni Rupa (Nyantri) Nusantara

Oleh Muhammad Al-Fayyadl

Sebelum menelisik masuk “matja”, kita patut bertanya: apakah “kenusantaraan” yang menjadi

anggitan tematik pameran ini merupakan suatu motif ideologis baru yang coba ditawarkan oleh para seniman Nahdliyin untuk menamai praktik mereka berkesenian, suatu orientasi estetik, suatu ranah kreatif, atau sekadar respons mereproduksi wacana yang dijejalkan sebagian publik Nahdliyin terhadap bangunan ke-NU-an mereka, yang cenderung mereka lihat sebagai sesuatu yang mapan, “jadi”, dan solid? Apa yang ingin dinamai oleh “kenusantaraan” ini? Suatu proses, produk, tradisi, atau orientasi?

Estetiko-Politik Seni Rupa (Nyantri) Nusantara (Sumber Gambar : Nu Online)
Estetiko-Politik Seni Rupa (Nyantri) Nusantara (Sumber Gambar : Nu Online)

Estetiko-Politik Seni Rupa (Nyantri) Nusantara

Perdebatan hangat yang muncul menyusul bergulirnya wacana “Islam Nusantara” memperlihatkan tarikan “kenusantaraan” dalam irisan kemasan politik ideologis yang coba membaku-bekukan “kenusantaraan” dalam suatu konstruksi yang uniter, lapang, dan tunggal, dengan silogisme yang mengerucut: Nusantara = Islam, Islam = NU; Islam Nusantara = NU (konklusi); dan irisan estetis yang selalu tergoda untuk melihat konstruksi “kenusantaraan”, “keislaman”, dan “ke-NU-an” secara tak linear, tambal sulam, atau longgar – seakan ingin mengatakan: Nusantara tak mesti Islam, Islam tak mesti NU, dan NU tak mesti satu-satunya juru bicara Islam Nusantara. Ada suatu garis yang kadang kusut dan berliku di antara entitas-entitas itu, untuk tak mengatakan suatu hubungan yang tak ajeg, belum selesai dan definitif, selalu menuntut untuk dirumuskan, dibongkar, dan ditata-ulang. Seakan tersimpan pertanyaan di ceruk irisan itu: sudahkah NU cukup tawadhu’ untuk merepresentasikan diri sebagai lokus “kenusantaraan”, sementara “kenusantaraan” adalah medan luas yang berisi lokus-lokus yang beragam, yang sebagian di antaranya berbicara tapi tak terdengar, eksis tapi tak tercatat, atau bersuara tapi tak dimengerti?

Pertanyaan ini menyodorkan problem representasi kepada konstruksi itu: apakah NU sudah cukup kuat membawa beban menjadi juru bicara yang mampu membawakan kepentingan suara-suara kalahan (subaltern) ke dalam lalu-lintas wacana-wacana arus utama yang hegemonik di medan “kenusantaraan”, dan menjahit suara-suara itu ke dalam lingua franca  baru di mana soalnya bukan lagi kalah-menang, tapi bagaimana agar masing-masing dapat saling eksis mendaulati “seni hidup”-nya sendiri – untuk meminjam istilah Gus Dur[1] – tanpa rasa minder atau rasa superioritas yang berlebih atas yang lain?[2]

Bahasa agama yang sebagian besar mengambil bentuk wicara (parole) dan bersifat verbal cenderung menghadirkan konsepsi yang abstrak dan “intelektualistik” tentang kehidupan, lebih khusus lagi kehidupan budaya. Soalnya adalah bagaimana melihat, memahami, dan kemudian memberi putusan atas persoalan-persoalan yang muncul di dalam kehidupan tersebut. Kecenderungan untuk memahami persoalan-persoalan budaya dengan “halal-haram”, dengan kategori-kategori yang bersifat aksiomatik (meskipun dengan gradasi dan tingkat toleransinya tertentu), dan dengan keinginan untuk menghindari ambiguitas dan mengejar kepastian (walaupun sifatnya lebih kepastian hukum untuk ketenangan batin atau esoteris), menyulitkan agama untuk menangkap ketampakan (visibility) dari ekspresi konkret dan materiil dari kehidupan budaya yang berdenyut di atas medan “kenusantaraan” itu. Kemampuan abstraksi tingkat tinggi yang diperagakan agama, melalui tradisi intelektualnya yang canggih sekalipun, belum memungkinkan agama untuk mampu mendekati “kenusantaraan” dalam wujudnya yang telah manifes. Abstraksi itu hanya melahirkan upaya-upaya yang cenderung semakin bergerak “ke dalam” dalam bentuk ortodoksi yang lain, seperti pendefinisian terus-menerus “kesenian Islam” dan penetapan ulang standar-standar berupa konsistensi ekspresi kesenian tersebut dengan norma-norma agama.[3]     

Dalam tradisi pesantren, terdapat suatu kepercayaan bahwa orang dapat keluar melampaui fiqh (dimensi norma-norma legal agama) dan mencapai kearifan dalam beragama, dan kearifan dalam memahami ekspresi estetik dari kehidupan budaya, jika ia dapat masuk ke dalam tasawuf, alias dimensi spiritualistik dan esoteris dari agama itu sendiri. Namun pun begitu, spiritualitas sufistik itu dapat segera terjatuh ke dalam kecenderungan abstraksi yang sama, ketika seseorang yang mencapai tingkat kesufian tertentu tidak lagi tertarik kepada bentuk, melainkan kepada isi; tidak tertarik kepada manifestasi, melainkan kepada esensi, sehingga melewatkan berbagai ekspresi kesenian itu semata-mata sebagai keanekaragaman yang bersifat maya dan ilusif, yang memalingkan kesadarannya dari tujuan ilahiahnya. Ini menjelaskan, mengapa cukup banyaknya lembaga-lembaga tasawuf (tarekat) dan komunitas penekun tasawuf tidak mampu meregenerasi suatu ketertarikan yang lebih massif terhadap kesenian dan melahirkan pendekatan yang lebih maju dalam hubungan antara agama dan kesenian.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Di mana kita dapat menemukan lokus “kenusantaraan” yang tidak tereduksi ke dalam representasi politis-ideologis itu, dan yang mampu membawa agama keluar dari kecenderungan nomotetisnya[4] terhadap kesenian? Di dalam ketampakan dan tekstur sensibel dari “kenusantaraan”, dan, dalam kaitannya dengan kesenian, di dalam ketampakan dan tekstur sensibel karya seni itu sendiri — kemampuannya untuk dapat dilihat, disentuh, didengar, dan dialami dalam materialitas benda, warna, tonasi-intonasi, gestur dan tekstur karya itu sendiri. Dengan kata lain, menolak karya seni sebagai alegori Ide.

“Kenusantaraan”, pertama-tama, bukan untuk didefinisikan, tetapi dilihat, dialami. Ia dialami oleh mata yang melihat, telinga yang menyimak, atau tangan yang menyentuh. “Kenusantaraan” Lir-ilir dan Syair Tanpa Weton tidak terletak di mana pun, di pesan maupun kebijaksanaan yang dikandungnya, kecuali di dalam langgam lagu dan komposisi kata-katanya. Bahasa seni rupa memiliki kekhasan yang singular karena hadir langsung di depan mata, terpampang di dalam materialitasnya yang nyata di hadapan mata. Ia pertama-tama tidak untuk disentuh atau diraba, tetapi dilihat. Bahasa seni rupa mendayagunakan ketampakannya sebagai kekuatan – berbeda dari karya musik atau karya kinetis. Ketampakan, visibilitasnya, adalah kenyataannya. Karya seni rupa bersifat faktis, tergeletak di suatu tempat, namun ia seketika menjadi sebuah karya, begitu ia hadir di depan mata, dilihat, menjadi objek bagi pandangan dan tatapan. Fenomenalitas dari ketampakan itu hadir sebelum karya itu menjadi alegori, simbolisasi, atau representasi bagi suatu gagasan. Dengan kata lain, karya itu menjadi primer (bukan sekunder) ketika tampak bagi mata, dan bukan suatu data bagi otak, atau bahan bagi interpretasi. Karya seni rupa tidak untuk dibaca.[5]

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sebelum mungkin untuk ditafsir sebagai alegori bagi pergumulan antara syahadat keislaman dan bayang-bayang syaithoniyah kebatilan, Kesaksian hadir dengan citra dua jari yang kontras, yang terpisahkan oleh warna hitam keabu-abuan dan merah dan garis setengah lingkaran yang mempertemukan sekaligus memisahkan antara jari telunjuk dan jari lain yang merengkuh. Ketampakan tubuh (atau dari jauh, sebuah menara, atau phallus?) yang tegak merupakan momen pertama lukisan ini hadir bagi mata. Membetot mata, mengundang mata untuk mendekati dan memandangnya. Dari kekaburan latar yang menghalangi untuk melihat, sang jari (yang tampak pertama-tama bukan sebagai jari) menampakkan diri, dengan kecerahan warnanya, sebagai figur, sosok[6] yang menjadi lokus menjadi terlihatnya yang-tak-terlihat, menjadi figuralnya yang-non-figural. Ini juga berlaku, misalnya, pada mengkilapnya cahaya Nur Songkok Nabi Muhammad, atau sosok-sosok pada Tantris dan Sunan Kalijogo.

Merah absolutnya Telapak Kaki Gus Dur membutakan mata, jika bukan melumpuhkannya. Jika bukan karena perbedaan (différence)[7] yang dimungkinkan oleh kontur “teratai” di marjin lukisan, “tapak” itu tidak akan menjadi sosok yang menyelamatkan mata dari kebutaannya. Monokromi lukisan itu, yang menjadi satu-satunya cirinya sebagaimana lazim dalam lukisan abstrak, mencegah mata kita untuk melihat bentuk, sehingga pada pandangan pertama karya ini tampak non-figural. Bentuk itu tersubordinasikan oleh warna, sehingga warna tak hanya dominan, tetapi juga absolut dan hegemonik. Tetapi, dominasi warna ini diinterupsi oleh tekstur, memunculkan jejak “tapak” dan “teratai” di atas bidang datar kanvas, sehingga lukisan ini mampu keluar dari non-figuralitasnya yang membutakan mata, dan bentuk mampu menampakkan apa yang sebelumnya tak tampak, memperlihatkan apa yang sebelumnya tersembunyi.

Sebagai alegori Ide, merahnya merah karya ini dapat menyimbolkan suatu pembebasan, atau jalan pembebasan yang berdarah, atau sosialisme (semua ini mungkin), yang mendapat pengertian lain dengan teratai dan jejak Gus Dur sebagai simbol kearifan, atau “kesabaran” revolusioner. Tetapi, kekuatan karya ini tidak terletak pertama-tama dalam representasi itu, atau caranya mengubah representasi menjadi alegori, tetapi dalam kemampuan tekstur(al)nya[8] memperlihatkan yang tak terlihat. Dengan kata lain, kemampuannya memunculkan apa yang sebelumnya tersubordinasi untuk muncul keluar dan menjadi tampak.

Tekstur ini adalah lokus di mana karya ini berpolitik. Seni rupa berpolitik, tidak dengan Ide (karena kalau itu terjadi, ia sekunder terhadap Ide), tetapi dengan medium dan perangkatnya,  yang dengannya ia menampakkan apa yang tak tampak, mengangkat apa yang tersubordinasi, memberi bentuk bagi yang amorf, atau memberi tempat bagi yang tak memiliki tempat. Masuknya teratai dan tapak dari marjin lukisan tidak hanya simbolik, tetapi juga politik. Ia tidak hanya menandai masuknya kontur ke dalam bidang, noda ke dalam warna, atau variasi ke dalam monokromi, tetapi juga masuknya unsur yang tak diperhitungkan ke dalam arena, yang mengacaukan hierarki keabsolutan ruang dan memberi kesempatan bagi pandangan untuk melihat apa yang tak terlihat – “jejak” Gus Dur sebagai figur subaltern dari “kenusantaraan”.[9]

Dalam hal ini, apakah yang lebih banyak dapat bercerita selain tekstur karya itu sendiri? Setiap tekstur niscaya bersifat sensibel. Ia dapat dirasakan, baik oleh indera peraba maupun pelihat. Indera peraba merasakan perbedaan antara dimensi yang timbul dan tenggelam dari permukaan bidang; indera pelihat memvisualkan perbedaan itu di dalam kontras warna antara yang terang dan gelap dari topologi bidang. Baik dengan salah satu atau dua-duanya, tekstur  menunjukkan perbedaan yang mengkonstruksi bidang, dan perbedaan itu bukan sekadar komposisi yang netral dan tanpa makna. Perbedaan itu politis, karena mengangkat apa yang tersembunyi atau tak terbaca, dan menghadirkan apa yang absen, hilang, atau dilenyapkan pada permukaan yang dinetralisir.

Dalam tradisi tulis, seperti terlihat dari tradisi manuskrip Nusantara,[10] tekstur bersifat ornamental. Fungsinya adalah menghiasi bidang, menjadi elemen sekunder atau tersier terhadap aksara. Tetapi, sebagaimana dalam kaligrafi atau arabesque, tekstur dapat menubuh di dalam aksara itu sendiri, melampaui statusnya sebagai sekadar ornamen, dan fungsi ini yang dimainkan seni rupa dengan kemampuannya menjadikan tekstur menjadi tempat inskripsi bagi manifestasi politik. Tekstur mendemonstrasikan ketimpangan dan kesenjangan-kesenjangan, sekaligus kemajemukan berbagai anasir yang tidak dapat saling meniadakan.

“Sebuah ‘permukaan’ bukan sekadar komposisi geometris garis-garis. Ia adalah berbaginya yang sensibel”.[11] Teori Plato menyebut, lukisan merupakan bidang permukaan bagi tanda-tanda yang bisu. Citra dihadirkan sebagai sehimpunan tanda bisu yang saling merujuk untuk melahirkan suatu kebermaknaan. Namun, tekstur tidak bisu, melainkan berbicara. Ia berbicara dengan konturnya yang tidak merata untuk mengangkat berbagai anasir yang sama sekali tidak berhubungan, acak, atau arbitrer satu sama lain. Ia menunjukkan suatu konfigurasi di mana berbagai peristiwa dan sosok dapat hadir bersamaan (co-exist), tanpa saling menafikan atau melupakan.

Suatu karya seni rupa bersifat politis, setidaknya dilihat dari salah satu dari empat hal: kemampuannya mengubah kriteria apa yang dapat dilihat; kemampuannya memperlihatkan yang sebelumnya tak terlihat; kemampuannya memperlihatkan secara lain apa yang telah biasa terlihat; atau kemampuannya menghubungkan yang terlihat dan yang tak terlihat.[12]

Tidak perlu jauh-jauh merujuk ke tradisi Eropa kontemporer untuk mengalami hal itu. Mencari contoh pada karya Jean Dubuffet, Petualang tanpa Kompas (1952), misalnya, untuk melihat cara kerja tekstur (Dubuffet sendiri memperkenalkan relief sebagai motif utama karya-karyanya), karya Rocka Radipa, Echoes of Glory, di pameran kali ini memperlihatkan kekayaan tekstur, sekaligus menunjuk di koordinat(-koordinat) mana “kenusantaraan” itu meletak.

Terhadap pertanyaan “apakah kenusantaraan itu”, karya ini tidak memberikan jawaban tunggal, melainkan mendemonstrasikan (mise en scène): “kenusantaraan” itu tidak di mana-mana sekaligus di mana-mana. Ia bisa diitemukan pada gigir batu arca atau motif-motif surealis ukiran primitif atau Hindu kuna, tetapi juga pada rambatan bambu, anyaman, atau tesktur topeng pada sebuah pertunjukan teater Jawa. Lokus par excellence dari “kenusantaraan” bukan pada kaligrafi (simbol kehadiran “Islam”), tetapi pada kaligrafi yang menubuh dengan sisa-sisa arkaisme pra-Islam, di mana yang Arab dan yang bukan Arab tidak lagi terbedakan, sebagaimana tidak terbedakannya figur manusia dan figur alam atau artefak bendawi. Semua organik, menubuh-menyatu, tetapi sifat organik itu tidak dapat direpresentasikan, karena semua elemen berbicara – kecil maupun besar, remeh-temeh maupun penting, ornamental maupun monumental… Sebagaimana dalam karya Jean Dubuffet, kita tidak bisa memisahkan antara manusia dan alamnya, antara budaya dan ekosistemnya (lukisan itu menempatkan alam, manusia, dan teknologi dalam satu ‘kontinuum’ yang organik); bagi para penghuni “Nusantara”, demikian pun, manusia ya alamnya, alam ya budayanya, budaya ya manusianya.

Dari keempat hal di atas, karya ini menunjukkan kemampuan memperlihatkan yang tak terlihat: mengangkat hal-hal remeh-temeh dan tak bermakna menjadi elemen utama, melampaui fungsi dekoratifnya yang biasa. Hal-hal remeh, yang sering mendapat posisi sekunder dalam lukisan figuratif, mendapat tempatnya di sini, karena “kenusantaraan” tidak dapat didefinisikan tanpa menyertakan hal-hal tersebut. Sifat organik “kenusantaraan” membuat berbagai elemen hadir-bersama, lebur-bersama, dan bergerak-bersama. Implikasi pascakolonial dari sifat organik ini sangat simbolik: “kenusantaraan” merupakan subversi atas cara berpikir kolonial yang membangun hierarki di antara berbagai elemen: hegemoni budaya atas alam, manusia atas budaya, teknologi atas budaya dan alam.   

Di sini kita melihat hal yang analog dengan teori “keserentakan waktu”-nya Benedict Anderson, ketika menguji problem nasionalisme: sebuah bangsa menciptakan imajinasi kolektif bersama melalui keserentakan waktu baru yang tersekularisasi, menggantikan keserentakan waktu yang diciptakan oleh agama. Di atas kanvas, keserentakan waktu itu mengambil wujud keserentakan momen ketampakan berbagai elemen. “Kenusantaraan”, dengan demikian, bukan semata konsep ruang (kosmologis atau geografis), tetapi juga konsep waktu (ditandai oleh keserentakan dan terus-hadirnya momen kekinian dari masa lalu – itu sebabnya tradisi selalu “aktual”).

Namun, perlu digarisbawahi, meski momen ketampakan itu berlangsung serentak, keserentakan itu tidak identik dengan keseragaman. Analogi dengan bangsa bermanfaat di sini: meski sebuah bangsa adalah (diandaikan) “satu”, tetapi “kesatuan” imajinatifnya, secara riil, adalah beragam. Meski “Nusantara” diimajinasikan “satu”, atau “sambung-menyambung menjadi satu”, dalam realitasnya ia beragam. “Kenusantaraan” adalah suatu keserentakan dari berbagai hal-ihwal yang satu sama lain tidak dapat direduksi, berbagai anasir yang satu sama lain tidak dapat saling meniadakan.

Heterogenitas yang luar biasa kaya (yang tidak dapat terwakili oleh “pluralisme” apapun! – kita dapat menyebutnya “heterogenitas radikal”) dari “kenusantaraan” itu memang kemudian menghadirkan rupa yang tumpang-tindih dan hubungan-hubungan sosial yang kompleks antara tradisi dan kemodernan, lebih-lebih bila kemodernan itu dibangun di atas relasi ekonomi yang timpang dan melanggengkan ketimpangan (kapitalisme). Modernism memperlihatkan kepekatan itu melalui irisan-irisan tajam antara citra kemodernan yang angkuh dan manusia-manusia tradisional yang resisten. Koeksistensi di antara berbagai modus kehidupan yang lahir dari persilangan tradisi dan kemodernan merupakan warisan yang tak pernah selesai membungkus “kenusantaraan” itu sendiri.

Dalam kosakata Nahdliyyin, pertanyaannya, apakah yang bertahan adalah tradisi yang baik (al-qadim al-shalih) dan yang diambil kemodernan yang lebih baik (al-jadid al-ashlah)? Ataukah sebaliknya: yang bertahan adalah tradisi yang buruk warisan feodalisme, dan yang sedang diadopsi adalah kemodernan yang lebih buruk, warisan pascakolonial?

Patut dicatat, bahwa sejumlah karya dalam pameran kali ini tak hanya mendorong kita keluar dari politik representasi “kenusantaraan” yang monolitik; mereka juga mendorong kita keluar dari representasi “keislaman” yang tunggal. “Jawa” telah (dan sedang) menjadi salah satu medan bagi pengujian terus-menerus representasi keislaman itu, seperti diperlihatkan oleh Maca Maning Nasirun. Tapi tak hanya “Jawa”, “ke-Arab-an” itu sendiri (yang mendapat penerjemahan pribuminya dalam aksara pegon) juga terus menjadi bahan eksperimentasi estetik, melalui subversi dan permainan tekstural maupun tipografis. Melalui formalisme à la Martin Barré, Hanya Lafal A. Mustofa Bisri (Gus Mus) melenyapkan kedalaman lafdzul jalalah (lafal “Allah”) ke dalam balok-balok datar tanpa ekspresi. Seakan-akan representasi ke-Arab-an lafal itu dapat dileburkan ke dalam suatu bentuk minimalis yang siapapun dapat menggambarnya tanpa canggung atau takut menodai kesuciannya. Arahmaiani menghadirkan versi kontemporer dari Arab pegon dengan pesan yang akrab di telinga anak muda: I love you, menginkarnasikan tiga elemen ke-Arab-an, ke-Jawa-an (yang memungkinkan peniruan kreatif atas ke-Arab-an terjadi), dan ke-Inggris-an dalam satu momen ketampakan sekaligus. Eksperimentasinya memungkinkan ke-Arab-an tidak dimaknai melulu dalam kerangka keislaman, tetapi juga dalam bahasa pergaulan kontemporer yang memperlakukan entitas ke-Arab-an itu sebagai sebuah fakta budaya.

Ada upaya-upaya yang dapat ditangkap dari sejumlah karya di pameran ini untuk menjadikan “kenusantaraan” sebagai ranah kreatif, daripada suatu motif ideologis atau orientasi estetik satu-satunya. Ranah kreatif: karena karya-karya itu tidak berpretensi menjadikan “kenusantaraan” satu penanda eksklusif yang terpisah, atau orientasi tunggal yang memperteguh ortodoksi “fiqh berkesenian” NU, tetapi suatu ranah eksperimentasi untuk menguji dan mempertanyakan representasi-representasi ideologis tentang “kenusantaraan”, Islam”, dan “tradisi”. Dengan cara itu, tanpa harus terbebani menampilkan karya yang “Islami”, setidaknya karya-karya itu telah menampilkan suatu kecenderungan di antara para perupanya untuk kembali “nyantri” di pesantren besar bernama “Nusantara”.

 

Muhammad Al-Fayyadl, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, ustadz di Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo

 

 

[1] Abdurrahman Wahid, “Negara dan Kebudayaan”, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, 3.

[2] Kenyataan beberapa tahun terakhir membuat kita (sementara) layak pesimis: menguatnya sentimen anti-Syi’ah, makin lemahnya pemihakan NU terhadap masyarakat adat (tercermin dari kebisuan “NU struktural” terhadap perjuangan masyarakat Samin di Rembang), merapatnya NU dengan kalangan militer dalam diskursus ideologis “menjaga kedaulatan NKRI”, dan seterusnya, merupakan indikasi-indikasi yang makin mempersulit peran NU dalam membawakan peran ini.

[3] Abdurrahman Wahid, “Islam, Seni, dan Kehidupan Beragama”, Op.cit., 146, 148.

[4] Kecenderungan untuk serba-hukum.

[5] Jean-François Lyotard, Discours, figure, Paris: Klincksieck, 2002.

[6] “Sosok”, penerjemahan dari “figur” atau konsep le figural Lyotard, tidak mesti berupa atau berwujud “manusia”.

[7] Ketebalan (épaisseur) yang memisahkan ketampakan sesuatu dari ketaktampakannya, ketebalan yang inheren di dalam setiap manifestasi sosok.

[8] Kekuatan kata-kata pada kemampuan tekstualnya, kekuatan seni rupa pada kemampuan teksturalnya.

[9] Ini menarik, di tengah upaya banyak orang menjadikan “Gus Dur” figur mainstream yang representatif bagi “Islam Nusantara”, lukisan ini menarik Gus Dur keluar dari konstruksi representatif itu untuk mewakili suara-suara minor yang tak terdengar (“bentuk yang tak berbentuk”) dari berbagai elemen “kenusantaraan” itu sendiri. Puluhan tahun silam, Gayatri Spivak bertanya, “Dapatkah Suara Kalahan berbicara?” (Can the Subaltern speak?). Dalam konteks seni rupa, pertanyaannya: “Dapatkah Suara Kalahan mengambil bentuk?” (Can the Subaltern take form?)

[10] Ann Kumar & John H. McGlynn dkk, Illuminations: The Writing Tradition in Indonesia, Jakarta: Lontar, 1996.

[11] Jacques Rancière, Le Partage du sensible, Paris: La Fabrique, 2000, 19.

[12] Jacques Rancière, Le Spectateur émancipé, Paris: La Fabrique, 2008, 72.

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Warta, Nusantara, Tegal Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 01 Maret 2007

Habib Prof Quraish Shihab dan Tafsir al-Mizan Syi’ah

Oleh Nadirsyah Hosen

Salah satu alasan Habib Prof Quraish Shihab dituduh beraliran Syi’ah adalah karena dalam kitab tafsir karyanya, yaitu al-Misbah (15 jilid) beliau sering merujuk kepada tafsir al-Mizan karya Muhammad Hussein Thabathabai. Bagaimana ceritanya?

Habib Prof Quraish Shihab dan Tafsir al-Mizan Syi’ah (Sumber Gambar : Nu Online)
Habib Prof Quraish Shihab dan Tafsir al-Mizan Syi’ah (Sumber Gambar : Nu Online)

Habib Prof Quraish Shihab dan Tafsir al-Mizan Syi’ah

Di lemari buku almarhum Abah saya (Prof KH Ibrahim Hosen) ada satu set komplit (21 jilid) tafsir al-Mizan. Sekitar tahun 1990 Abah saya berdecak kagum membaca ulasan dari kitab tafsir ini. Saat itu saya tanyakan kepada Abah kenapa membeli tafsir milik ulama Syi’ah. Abah menjawab, "Ini kitab tafsir bagus, Habib Quraish yang merokemendasikan dan ternyata beliau benar, isinya luar biasa". Saya bertanya, "kalau begitu saya juga boleh membacanya?" Abah mengangguk.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jadi kekaguman Habib Prof Quraish Shihab terhadap karya Thabathabai itu sudah sejak dulu. Itu sebabnya kitab tafsir al-Misbah banyak mengutip Tafsir al-Mizan. Tapi apakah fakta ini menjadikan Habib Prof Quraish seorang Syi’ah? Saya berpendapat, "Tidak!"

Pertama, merupakan hal wajar seorang Profesor seperti Quraish Shihab dan juga Abah saya membaca kitab lintas mazhab. Di lemari buku Abah saya juga terdapat Tafsir al-Kasyaf karya Zamakhsyari yang beraliran Mutazilah. Juga ada kitab Nailul Authar karya Syaukani yang berasal dari tradisi Syi’ah Zaidiyah dan kabarnya kemudian beralih ke mazhab Zahiri. Karya Syaukani lainnya yang saya temukan di perpustakaan Abah saya adalah kitab Irsyadul Fuhul yang mengupas Ushul al-Fiqh. Jadi, para guru besar itu memang membaca dan mengoleksi literatur dalam berbagai mazhab. Kalau gak gitu, ya bukan guru besar dong.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kedua, keliru besar kalau dikatakan tafsir al-Misbah hanya merujuk pada tafsir al-Mizan. Kalau kita baca dengan seksama, Habib Prof Quraish itu sangat mengagumi al-Biqai yang menulis kitab tafsir Nazm al-Durar. Karya al-Biqai ini menjadi bahan kajian disertasi Habib Prof Quraish Shihab di al-Azhar Cairo. Selain al-Biqai dan Thabathabai, beliau juga merujuk kepada Tafsir fi Zhilalil Quran karya Sayid Quthb dan al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn Asyur. Jadi, paling tidak ada 4 kitab tafsir utama yang dirujuk oleh Tafsir al-Misbahnya Habib Prof Quraish Shihab: Thabathabai yang beraliran Syi’ah Imamiyah, al-Biqai yang bermazhab Syafii, Sayid Quthb ulama konservatif dari Ikhwanul Muslimin, dan Ibn Asyur ulama progresif bermazhab Maliki.

Selain keempat kitab tafsir utama di atas, Habib Prof Quraish Shihab juga merujuk kepada kitab tafsir lainnya semisal Tafsir al-Wasith karya Sayid Thantawi (mantan Grand Syekh al-Azhar) dan juga kitab tafsir klasik semisal Tafsir al-Qurtubi. Dengan kata lain, tafsir al-Misbah tidak hanya merujuk kepada tafsir Syi’ah karya Thabathabai tapi juga kitab tafsir lainnya termasuk tafsir konservatif milik Sayid Quthb. Tentu menakjubkan karya tokoh Syi’ah-Sunni, progresif dan konservatif, klasik-modern semuanya diakomodir dalam tafsir al-Misbah. Ini menunjukkan pendekatan beliau yang luas dan luwes.

Ketiga, meskipun beliau mengutip tafsir al-Mizan karya ulama Syi’ah, namun dalam beberapa pembahasan Habib Prof Quraish Shihab terang-terangan menunjukkan perbedaan pandangan beliau dengan Thabathabai. Ini sikap ilmiah beliau. Misalnya yang paling jelas dalam Surat Abasa. Sejak lama ulama Sunni berbeda pandangan dengan ulama Syi’ah mengenai apakah Nabi Muhammad yang mendapat teguran Allah dalam surat tersebut atau orang lain. Setelah menguraikan pandangan Thabathabai, beliau menulis: "Hanya saja, alasan-alasan yang dikemukakannya tidak sepenuhnya tepat". Dengan kata lain, Habib Prof Quraish Shihab berpandangan sama dengan ulama Sunni dalam surat Abasa ini. Ini bukti yang teramat jelas bahwa beliau bukan seorang Syi’ah.

Perbedaan pandangan lainnya bisa terlihat saat membahas surat al-Hujurat ayat 12. Thabathabai menganggap larangan ghibah di ayat ini hanya berlaku jika yang digunjing itu seorang Muslim sebagaimana diisyaratkan oleh kata "akh/saudara" dalam ayat ini. Dengan merujuk pada QS al-Taubah: 9 yang menegaskan persaudaran seagama itu menggunakan redaksi "ikhwanukum fid din" Habib Prof Quraish Shihab tidak menyetujui pendapat Thabathabai di atas. Dengan demikian beliau berpendapat kata "akh/saudara" dalam al-Hujurat:12 tidak hanya berlaku untuk sesama Muslim. Ini contoh bagaimana Tafsir al-Misbah berbeda pandangan dengan Tafsir al-Mizan. Dalam dunia ilmiah, hal ini wajar saja.

Dari ketiga poin di atas terbantahlah mereka yang menganggap Habib Prof Quraish Shihab sebagai Syi’ah dikarenakan beliau merujuk kepada tafsir al-Mizan ulama Syi’ah. Semoga ini bisa meluruskan fitnah keji yang terus menerus diedarkan oleh sementara pihak terhadap beliau. Semoga beliau selalu dikaruniai kesehatan dan dijaga oleh Allah dalam membina umat lewat keteladanan, kesantunan dan kedalaman ilmu beliau.

Penulis adalah Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School



Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kyai, Nusantara, Nasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 25 Januari 2007

Gus Dur Sudah Ramalkan, Mantan Ajudannya, Sutarman Jadi Kapolri

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Suatu pagi di tahun 2005 media cetak nasional memberitakan perihal mutasi perwira tinggi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, sesuatu yang normal dan rutin terjadi sebagai bentuk penyegaran dan proses regenerasi. 

Sudah menjadi kebiasaan rutin Gus Dur untuk mendengarkan perkembangan terkini dari berita-berita yang dibacakan oleh ajudan atau santrinya di pagi hari, sambil melayani para tamu yang berdatangan di rumahnya, di bilangan Ciganjur Jakarta Selatan. 

Gus Dur Sudah Ramalkan, Mantan Ajudannya, Sutarman Jadi Kapolri (Sumber Gambar : Nu Online)
Gus Dur Sudah Ramalkan, Mantan Ajudannya, Sutarman Jadi Kapolri (Sumber Gambar : Nu Online)

Gus Dur Sudah Ramalkan, Mantan Ajudannya, Sutarman Jadi Kapolri

Salah satu perwira yang mendapat promosi adalah mantan ajudan Gus Dur ketika menjadi presiden, Kombes Pol Sutarman yang naik pangkat menjadi Brigjend Pol dan menjabat sebagai Kapolda Kepulauan Riau. Karena secara langsung pernah berinteraksi dengan Gus Dur, berita tersebut juga dibacakan di hadapan Gus Dur. Kebetulan, yang menemani pagi itu Nuruddin Hidayat, salah seorang santri Gus Dur.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Nuruddin: “Pak, Pak Tarman dilantik jadi Kapolda Kepri, naik pangkatnya jadi bintang satu.” 

Gus Dur : “O…ya, sebelumnya dia tugas dimana?  

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Nuruddin: “Di Polda Jatim Pak, terakhir sih Kapolwil Surabaya, nek mboten klentu (kalau tidak keliru),”

Nuruddin: “Pak Tarman niku (ini) ajudan sangking (dari) polisi yang terakhir gih (ya) Pak?  

Gus Dur: “Ya, Sutarman gantiin Pak Halba” 

Nuruddin: “Pak Tarman niku priyantun pundi (asalnya dari mana) Pak?”

Gus Dur: “Pak Tarman iku wong (orang) daerah sekitar Solo situ, tepatnya dimana, saya ngak tahu.”

Sejenak Gus Dur terdiam beberapa orang yang mengobrol bersamanya juga terdiam, menunggu mungkin ada satu hal penting yang diucapkan oleh Gus Dur.

Lalu…

Gus Dur: “Pak Tarman itu orang desa biasa bukan dari kalangan orang kaya, tapi mengko bakale dadi Kapolri” (Pak Tarman itu orang biasa dari desa bukan anaknya orang kaya, tapi nanti dia akan jadi Kapolri)”

Nuruddin: O…nggaten toh Pak (oh, begitu ya)……

Diam-diam Nuruddin pun mencatat ucapan Gus Dur dalam memorinya dan mengikuti terus tour of duty-nya Jendral Pol Sutarman. 

Sutarman, lulusan Akademi Kepolisian 1981 ini mengawali kariernya di Kepolisian pada 1982, sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Kepolisian Resor Bandung. Dalam waktu yang tidak lama, ia sudah menjadi Kepala Kepolisian Sektor Dayeuh, Bandung. 

Kariernya melejit setelah menjadi ajudan Presiden Gus Dur pada 2000. Tahun 2004 sudah menjadi perwira menengah dan dipercaya sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya

Setelah ramalan Gus Dur tersebut, ia terus berkibar, menjadi Kapolda Kepulauan Riau, Kepala Sekolah Calon Perwira, Kapolda Jawa Barat, Kapolda Metro Jaya, sampai akhirnya menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri sejak 6 Juli 2011 dan dilantik menjadi Kapolri pada 25 Oktober 2013. 

Saat nama Sutarman disebut-sebut sebagai calon Kapolri di media, Inayah Wahid, putri terakhir Gus Dur bersama Nuruddin Hidayat, berkunjung ke kantor redaksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kami asyik membicarakan sejumlah kisah kewalian Gus Dur ini, salah satunya kisah perjalanan karier Sutarman.

“Kita lihat saja bagaimana prosesnya, nanti kalau sudah benar-benar dilantik jadi Kapolri, baru kita tulis.” begitu kesimpulan bersama dari obrolan tersebut, dan ternyata, apa yang pernah diomongkan oleh Gus Dur tersebut benar. (mukafi niam) 

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Pemurnian Aqidah Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 15 Januari 2007

LBMNU Probolinggo Soroti Terjemah Al-Qur’an MMI

Probolinggo, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pengurus Cabang Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kabupaten Probolinggo sangat menyayangkan terjamah tafsiriyah oleh Al-Ustads Muhammad Thalib dari Pengurus Pusat Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Pasalnya dalam terjemah tersebut banyak arti Al-Qur’an yang dinilai tidak sesuai.

Demikian disampaikan oleh Ketua PC LBMNU Kabupaten Probolinggo Abd. Rohman Nabrowi kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Rabu (1/1). “Kesalahan awal sudah bisa kita lihat di ayat pertama Surat Al Fatihah. Arti yang seharusnya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berubah menjadi yang Maha Luas. Kalau arti surat Al Fatihah saja sudah banyak yang salah, apalagi surat-surat yang lain. Hal ini tentu masuk dalam pengaburan isi Al-Qur’an,” ungkapnya.

LBMNU Probolinggo Soroti Terjemah Al-Qur’an MMI (Sumber Gambar : Nu Online)
LBMNU Probolinggo Soroti Terjemah Al-Qur’an MMI (Sumber Gambar : Nu Online)

LBMNU Probolinggo Soroti Terjemah Al-Qur’an MMI

Menurut Abd. Rohman, terjamah tafsiriyah ini merupakan koreksi dari terjemah Al-Qur’an yang dibuat oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.“Namun setelah saya telaah dan koreksi, banyak isi tafsiran yang mengkaburkan terjemah Al-Qur’an itu sendiri dan bisa dinyatakan kesalahan,” tegasnya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Abd. Rohman dengan tegas baik atas nama pribadi dan atas nama organisasi akan menggugat isi terjemah Al Qur’an yang telah mengaburkan isi Al-Qur’an. “Saya siap kapanpun membedah kesalahan terjemah ini di forum terbuka. Gugatan ini perlu untuk disampaikan karena menyangkut masa depan generasi muda bangsa. Sebab dikhawatirkan nantinya ada penafsiran yang salah ketika membaca terjemahan ini,” terangnya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Oleh karenanya Abd. Rohman meminta kepada pihak Kemenag RI untuk menghentikan peredaran terjamah tafsiriyah ini karena dikhawatirkan akan menyesatkan umat muslim yang membacanya, terutama generasi muda.

“Mohon Kemenag RI berlaku arif terhadap beredarnya terjamah tafsiriyah ini. Saya menyatakan siap untuk bertanggung jawab atas koreksi yang saya lakukan karena ini menyangkut ideologi dan keyakinan. Kalau tidak percaya silahkan baca sendiri terjemahan isi Surat Al Fatihah,” terangnya.

Menurut Abd. Rohman, jika ada pihak yang diam dan membiarkan hal ini sama saja dengan juga ikut mengkaburkan isi Al-Qur’an. “Secara tegas NU menyatakan banyak sekali kesalahan dalam terjamah tafsiriyah ini. Terjemahan Al-Qur’an jika keluar dari kaidah terjemahan maka akan sangat berbahaya dan membingungkan umat muslim yang membacanya,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Anam)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Habib, Pahlawan Pimpinan Pusat Muhammadiyah