Rabu, 30 Juni 2010

Doa Rasulullah SAW saat Terlilit Utang

Utang merupakan salah satu bentuk mu‘amalah yang diperbolehkan. Namun demikian setan kerap menggoda kita agar mengemplang utang termasuk utang pajak. Kita dibujuk untuk tidak memenuhi kewajiban membayar utang. Karenanya membayar utang adalah jihad yang sangat luar biasa.

Di samping faktor bujukan setan, kita belum sanggup melaksanakan kewajiban bayar utang karena belum mampu. Pikiran kita terbebani oleh utang itu karena rezeki yang habis hanya untuk makan tanpa tersisa untuk disisihkan.

Doa Rasulullah SAW saat Terlilit Utang (Sumber Gambar : Nu Online)
Doa Rasulullah SAW saat Terlilit Utang (Sumber Gambar : Nu Online)

Doa Rasulullah SAW saat Terlilit Utang

Untuk kondisi seperti ini Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa yang diharapkan agar Allah menurunkan beban utang yang sedang kita pikul.

? ? ? ? ? ? ? ? ?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Allâhummakfinî fi halâlika ‘an harâmik, wa aghninî bi fadhlika ‘amman siwâk

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Artinya, “Tuhanku, cukupilah diriku dengan jalan (harta) yang Kauhalalkan, bukan jalan (harta) Kauharamkan; dan lengkapilah diriku dengan kemurahan-Mu, bukan kemurahan selain diri-Mu.”

Doa Rasulullah SAW yang diterima Sayidina Ali RA ini diajarkan kepada salah seorang mukatab (budak yang tengah mencicil kemerdekaan dirinya) saat mengeluhkan beban utangnya kepada Sayidina Ali. “Maukah kamu kalau kuberitahu beberapa kalimat yang diajarkan Rasulullah SAW kepadaku? Kalau kau terbebani utang sebesar gunung, niscaya Allah akan melunasinya,” kata Sayidina Ali.

Meskipun utang diperbolehkan, hanya saja besaran utang ini perlu diperhatikan. Kalau bukan untuk kepentingan yang sangat mendesak, baiknya hindari utang. Karena utang dengan besaran yang tinggi akan menyulitkan kita sendiri. Doa ini diriwayatkan Sayidina Ali dan dicantumkan oleh Imam An-NAwawi dalam karyanya Al-Adzkar. (Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sejarah, Kyai, Quote Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 19 Juni 2010

Rais Aam Persembahkan Puisi untuk Muslimat NU

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pejabat Rais Aam PBNU KH A. Mustofa Bisri mempersembahkan sebuah puisi untuk ibu-ibu Muslimat NU pada penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas)  yang berkangsung di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Ahad (1/6).

Puisi karya kiai yang akrab disapa Gus Mus tersebut ditulis sekitar tahun 1980. Judulnya Ibu.

Rais Aam Persembahkan Puisi untuk Muslimat NU (Sumber Gambar : Nu Online)
Rais Aam Persembahkan Puisi untuk Muslimat NU (Sumber Gambar : Nu Online)

Rais Aam Persembahkan Puisi untuk Muslimat NU

Ibu, kaulah gua teduh

tempatku bertapa bersamamu

sekian lama

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kaulah kawah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

dari mana aku meluncur

dengan perkasa

Kaulah bumi

yang teregelar lembut bagiku

melepas lelah dan nestapa

Gunung yang menjaga mimpiku

siang dan malam

Mata air yang tak brenti mengalir

membasahi dahagaku

telaga tempatku bermain

berenang dan menyelam

Kaulah ibu, laut dan langit

yang menjaga lurus horisonku

Kaulah ibu, mentari dan rembulan

yang mengawal perjalananku

mencari jejak sorga

di telapak kakimu

Tuhan, aku bersaksi

ibuku telah melaksanakan amanatMu

menyampaikan kasih sayangMu

maka kasihilah ibuku

seperti Kau mengasihi kekasih-kekasihMu.

Amin

Rakernas dan Mukernas bertema “Khidmah Muslimat NU Untuk Indonesia bermartabat” tersebut dibuka Rabu (28/5) Wakil Presiden RI Boediono dan ditutup Pejabat Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri pada Ahad (1/6).

Kegiatan tersebut  diikuti sekitar 1500 Pengurus Muslimat NU dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah hingga Pimpinan Cabang se-Indonesia, serta dua Cabang Istimewa Sudan dan Arab Saudi. (Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Tokoh, Kiai Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Rabu, 16 Juni 2010

Lagi, Koleksi Kitab Kuno di Masjid Agung Solo Rusak

Solo, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Beberapa waktu lalu, diwartakan koleksi kitab-kitab kuno peninggalan jaman Paku Buwono (PB) X yang ada di Perpustakaan Masjid Agung Surakarta rusak akibat dimakan rayap. Sebagian dari kitab tersebut, kemudian dapat diselamatkan dan diperbaiki.

Namun, ternyata hal tersebut bukan menjadi penyelesaian akhir dari masalah ini. Rabu (24/6) lalu, pengurus Masjid Agung Surakarta kembali memeriksa semua koleksinya. Hasilnya, sungguh memprihatinkan, buku bahkan berikut rak buku yang terbuat dari kayu pun telah rusak dimamah rayap.

Lagi, Koleksi Kitab Kuno di Masjid Agung Solo Rusak (Sumber Gambar : Nu Online)
Lagi, Koleksi Kitab Kuno di Masjid Agung Solo Rusak (Sumber Gambar : Nu Online)

Lagi, Koleksi Kitab Kuno di Masjid Agung Solo Rusak

Takmir Masjid Agung Surakarta, KRT Tafsir Anom Muh. Muhtarom, saat ditemui di lokasi mengatakan kondisi koleksi kitab serta buku yang ada di perpustakaan memang sudah cukup parah dan ada beberapa yang sudah tidak bisa dibaca lagi.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Menurutnya, hal tersebut perlu segera dipikirkan untuk dicari solusinya. “Solusinya itu perlu ada penataan ruangan dan digitalisasi kitab-kitab kuno, ini sekaligus membedakan mana yang rusak dan mana yang tidak,” terang Ketua MWCNU Pasar Kliwon itu.

Lebih lanjut, dikatakan Kiai Muhtarom, terkait penanganan digitalisasi koleksi ini pihaknya akan bekerjasama dengan IAIN Surakarta. Sedangkan untuk perbaikan rak, rencananya akan diganti dengan rak yang terbuat dari alumunium.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hasil pemeriksaan koleksi pada hari itu, selanjutnya akan dipilah dan diinventarisir, buku mana yang rusak berat tidak bisa dibaca dan mana yang rusak ringan masih bisa dibaca. (Ajie Najmuddin/Anam)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtsul Masail, News, Ubudiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kamis, 03 Juni 2010

Dua Alumni SMA Nuris Raih Beasiswa Studi S1 ke Tiongkok

Jember, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dua alumni SMA Nurul Islam (Nuris), Antirogo, Jember, Jawa Timur terpilih sebagai peserta program ITCC (Indonesia Tionghoa Culture Centre). Keduanya adalah Abdul Wahab dan Irfan Maulana Ahsan. 

Keduanya bersama 358 peserta lainnya dari seluruh Indonesia mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikan S1 di Tiongkok. Mereka bisa kuliah gratis dan asrama yang representatif, gratis. 

Dua Alumni SMA Nuris Raih Beasiswa Studi S1 ke Tiongkok (Sumber Gambar : Nu Online)
Dua Alumni SMA Nuris Raih Beasiswa Studi S1 ke Tiongkok (Sumber Gambar : Nu Online)

Dua Alumni SMA Nuris Raih Beasiswa Studi S1 ke Tiongkok

Ada 8 Universitas ternama di Tiongkok yang telah bekerjasama dengan ITCC, dan  menjadi jujugan kuliah peserta ITCC, yaitu Yangtze University, Hubei University of Science & Technology, Hubei Polytechnic University, Changsha Medical University, dan kampus ternama lainnya.

Acara pelepasan ke 360 peserta tersebut telah dilakukan beberapa hari lalu di DBL Academy Basketball School,  Surabaya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Menurut pendamping kedua alumni SMA Nuris tersebut, Imarochditro, sebelum berangkat ke negeri tirai bambu itu, semua peserta masih diberi pembekalan selama 5 bulan ke depan di Surabaya. 

Dikatakannya, selama di China peserta program tersebut akan kuliah sekaligus bekerja sesuai dengan jurusan yang mereka miliki. Waktu pagi untuk kegiatan bekerja, dan sore buat kegiatan kuliah.

"Kalau Wahab (Abdul Wahab) dan Irfan (Irfan Maulana Ahsan), sesuai dengan jurusannya, ya bekerja di perusahaan elektro nanti," tukasnya di Nuris, Rabu (20/9).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sementara itu, Abdul Wahab menyatakan gembira bisa terpilih sebagai peserta ITCC, lebih-lebih yang menjadi tujuan adalah China yang notabene merupakan negara yang disebut-sebut Nabi Muhamamd sebagai alternatif tempat mencari ilmu.

"Saya bangga menjadi bagian dari 360 siswa ITCC. Saya akan memanfaatkan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Kuliah dengan baik adalah prioritas saya,"ungkap pemuda asal Ledokombo ini. (Aryudi A. Razaq/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kajian Sunnah, Anti Hoax Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil (Bagian II Habis)

Oleh M Kholid Syeirazi

Melanjutkan bagian pertama dari tulisan, Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil, narasi kedua ini akan mengurai Bayan Nabawy, Ijma’ dan Qiyas sebagai penyempurna dari penjelasan sebelumnya terkait panduan istinbath dan istidlal (menggali hukum dan mencuplik dalil) dengan merunut dari penjelasan Imam Syafi’i. Panduan ini merupakan rumus untuk menarik dalil, terutama yang tidak termaktub hukumnya secara sharih (jelas dan tegas) di dalam nash. Kerangka ini akan mengeliminasi ‘anarki hukum’ yang ditimbulkan oleh pencuplikan dalil yang tidak komprehensif.

Bayan Nabawy

Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil (Bagian II Habis) (Sumber Gambar : Nu Online)
Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil (Bagian II Habis) (Sumber Gambar : Nu Online)

Jangan Sembrono dalam Menggali Hukum dan Mencuplik Dalil (Bagian II Habis)

Sunah Nabi adalah sumber hukum kedua. Sunah mencakup ucapan, perbuatan, dan penetapan. Ketika Nabi masih hidup, Nabi menjadi sumber paling otoritatif dalam menetapkan hukum. Beliau menerima wahyu dan menjelaskan isinya. Hal-hal yang tidak disebutkan wahyu, disampaikan hukumnya oleh Nabi. QS. An-Nahl/16: 44 menyebutkan, “Wa anzalna ilayka –dz dzikra li tubayyina lin nas ma nuzzila ilayhim,” “Dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” Sunah yang berujud ucapan disebut dengan hadits.



Pimpinan Pusat Muhammadiyah



Semasa hidup, ucapan Nabi tidak ditulis, bahkan Nabi pernah melarang sahabat menulis ucapan beliau selain Al-Qur’an. Sepeninggal Nabi, umat Islam kehilangan sumber paling otoritatif untuk menjelaskan hukum. Dua pusaka yang tinggalkan Nabi adalah Al-Qur’an dan Sunah. Jika suatu perkara ditemukan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an, itulah hukumnya. Jika tidak ditemukan, umat menengok kepada Sunah Nabi, baik yang berujud ucapan, perbuatan, maupun penetapan. Sunah Nabi diceritakan oleh banyak sahabat, diriwayatkan melalui banyak sumber. Akhirnya, timbullah kerancuan. Banyak beredar hadits dari berbagai sumber, dinisbatkan kepada Nabi, tetapi tidak jelas kebenarannya.





Pada tahun 99 H, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz mamanggil seorang ulama bernama Syihabuddin Romahurmuzy, untuk menciptakan metode menyaring hadits sehingga dikenali hadits-hadits yang sahih dan yang tidak. Ilmu itu dikenal dengan mushthalahul hadits. Melalui ilmu ini, sebuah hadits disaring sanad (mata rantai rawi) dan matan-nya (redaksinya). Hadits yang sanadnya tsiqah (terpercaya) dan matan-nya sejalan dengan Al-Qur’an, disebut dengan hadis sahih. Kepada hadits inilah hujjah untuk mengambil hukum dilakukan. Menurut Imam Nawawi, kitab hadits yang derajat kesahihahnnya di bawah Al-Qur’an adalah Bukhari dan Muslim. Kemudian berikutnya Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Daruquthni, Hakim, dan Baihaqi (Imam Nawawi, At-Taqrib wat-Taysir li Ma’rifati Sunani –l-Basyir al-Nadzir (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1975, hal. 26). Sebelum lahirnya kitab-kitab sunah ini, Imam Syafi’i berkata: “Ma ba’da kitabillah ashahhu min Muwattha’ Malik” (Tidak ada setelah Al-Qur’an yang lebih sahih ketimbang Al-Muwattha’ karya Imam Malik).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah





Peringkat kedua adalah hadits hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan dari sumber terpercaya oleh rawi-rawi terkenal, diterima banyak ulama tetapi derajatnya di bawah hadis sahih karena terdapat rawi yang bukan kategori istimewa dalam hapalan dan integritas. Hadis hasan boleh digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan hukum. Peringkat ketiga adalah hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi kriteria sahih dan hasan. Termasuk kategori hadits dhaif adalah hadits maudhu’, syadz, dan munkar. Para ulama sepakat, hadits dhaif tidak boleh digunakan sebagai hujjah hukum, tetapi bisa ditoleransi sebagai dalil keutamaan perbuatan (fadhail al-a’mal).





Menurut Imam Syafi’i, sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi ada yang bersifat ‘am ada yang bersifat khas, ada ‘am makhsus ada ‘am muthlaq, ? ada yang nasikh ada mansukh, ada muthlaq ada muqayyad sehingga seringkali nampak bertentangan satu sama lain. Karena itu, wajib bagi penggali hukum untuk melakukan pemilahan (ar-Risalah, hal 165). Menurut Imam Syafi’i, tidak ada hadits yang saling bertentangan, kecuali hadits yang tidak diriwayatkan secara sempurna. Dan tidak mungkin ada hadits sahih yang bertentangan dengan Al-Qur’an, sebagaimana tidak ada Sunah yang tidak mengikuti Al-Qur’an (ar-Risalah, hal. 169). Hadits-hadits yang diriwayatkan secara berbeda oleh para rawi bisa jadi karena rawi yang satu tidak mengetahui hadits lain yang telah me-nasakh atau suatu hadits diriwayatkan oleh rawi yang kurang terpercaya atau bisa juga Nabi menetapkan suatu hukum yang bersifat umum, di lain waktu, sebagai diskresi dan kebijaksanaanya, Nabi memberi dispensasi hukum yang bersifat khusus. Imam Syafi’i menulis kitab khusus yang menguraikan pertentangan hadits dan posisi imam dalam mengurai benang merahnya (Lihat Abu Abdillah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i, Ikhtilaful Ahadits, tahqiq Muhammad Ahmad Abdul Aziz, dimuat dalam Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, juz 9, hh. 521-647).





Contohnya hadits tentang puasa dan buka dalam safar (perjalanan). Ada hadits sahih, diriwayatkan banyak imam hadits, termasuk Bukhari-Muslim, berbunyi, “Laysa minal birri an tashumu fis safar” (Bukanlah kebaikan berpuasa di waktu safar). Dalam riwayat lain, kepada mereka yang tetap puasa di saat safar, Nabi menyatakan, “ulaika-l ushat” (mereka orang-orang yang membangkang). Namun, ada hadits sahih lain, diriwayatkan banyak imam hadits, berbunyi, “In syi’ta fa shum wa in shi’ta fa afthir” (Jika mau, puasalah, jika mau, berbukalah). Dua riwayat ini sekilas bertentangan. Riwayat pertama, Nabi mencontohkan berbuka dan mencela mereka yang puasa di waktu safar. Riwayat kedua, Nabi membebaskan orang untuk memilih puasa atau berbuka. Jika terdapat pertentangan hadis semacam ini, maka yang harus didahulukan adalah hadits yang maknanya mendekati Al-Qur’an dan Sunah Nabi yang lain, hadits yang diriwayatkan oleh rawi terkemuka yang mengerti sanad, masyhur ilmunya dan kuat hapalannya, hadits yang diriwayatkan melalui banyak jalur, hadits yang dikenal luas para ulama, hadits yang lebih sahih dalam qiyâs, dan hadits yang menjadi pegangan mayoritas sahabat (Ikhtilaful Ahadits, hal. 548-49; ar-Risalah, hal. 203-04).





Kedudukan hadits sebagai penjelas Al-Qur’an sudah disampaikan dalam pembahasan ayat ‘am dan khas. Beberapa ketentuan umum di dalam Al-Qur’an di-takhsis oleh hadits. Hampir semua taklifat (kewajiban dan larangan) yang disebutkan dalam Al-Qur’an di-takhsis dengan hadits, “Rufi’al qalamu ‘an tsalasin: ‘ani-n na’imi hatta yastayqidza, was shabiy hatta yablugha, wal majnuni hatta yafiqa (HR Abu Dawud, Nasa’i, Ibn Majah, Hakim): “Pena diangkat terhadap tiga orang: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga waras.” Artinya, hukum-hukum Islam tidak berlaku (ghairu mukallafin) pada tiga golongan ini: orang yang tidak tidur, anak kecil, dan orang gila.





Untuk hadits nasikh dan mansukh, Imam Syafi’i memberikan banyak contoh. Antara lain, hadits “ghuslul jumu’ati wajibun ala kulli muhtalamin” (HR Malik & Ahmad): “Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib bagi setiap orang dewasa.” Hadits ini di-nasakh dengan hadits “Man tawaddz’a yaumal jumuati fa biha wa ni’matun wa man ightasala fal ghuslu afdhal (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi): “Barangsiapa berwudhu pada hari Jum’at, maka itu cukup dan suatu kebaikan. Barang siapa mandi, maka itu lebih utama.” Contoh lain, hadits “Innama ju’ilal imamu li yu’tamma bihi. Fa idza raka’a farka’u, wa idza rafa’a farfa’u, wa idza shalla jalisan fa shallu julusan (Muttafaqun alaih): “Imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia rukuk maka rukuklah kalian, jika ia bangun maka bangunlah kalian, dan jika ia salat sambil duduk, maka salatlah kalian sambil duduk.” Hadits ini di-nasakh denga hadits riwayat Aisyah, “annan Nabiyya shalla qa’idan wa Abu Bakrin qa’iman yushalli bi shalatin Nabiy wa hum wara’ahu qiyaman” (Muttafaqun alaih): “Nabi salat sambil duduk, sementara Abu Bakar salat berdiri. Ia salat mengikuti salatnya Nabi, sementara orang-orang salat mengikuti salatnya Abu Bakar.” Contoh hadits yang di dalamnya terdapat nasikh dan mansukh sekaligus,

?

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

?

“Aku pernah melarang kalian ziarah kubur, maka ziarahlah. Aku pernah melarang kalian menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, maka tahanlah apa yang tersedia sesuka kalian. Aku pernah melarang kalian nabidz (perasan anggur) kecuali dalam bejana minum, maka minumlah dari semua bejana dan jangan kalian minum-minuman yang memabukkan.” (HR. Muslim, No. 3651, Kitâbul Janâiz)





Dengan hadits ini, hadits-hadits tentang celaan ziarah kubur, larangan minum anggur, dan menahan daging kurban lebih dari tiga hari dinyatakan mansukh (terhapus). ?





Apa yang diuraikan di atas menunjukkan, pengetahuan tentang hadits, jenis-jenis dan karakteristiknya mutlak bagi seorang yang mau menetapkan hukum. Jika suatu perkara dinyatakan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an, maka itulah hukumnya. Jika tidak terdapat, carilah dari sunah Nabi. Jika terdapat hadits sahih yang menerangkan hukumnya dan tidak di-nasakh hadits lain, maka itulah hukumnya. Demikianlah pedoman Imam Syafi’i, “Idza shahhal hadits fa huwa madzhabi” (Jika hadits itu sahih, itulah madzhabku). Terhadap perkara yang yang telah secara jelas dinyatakan hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunah (manshushan bayyinan), haram hukumnya perbedaan pendapat. Adapun perkara yang hukumnya diketahui dengan ta’wil dan mengambil padanan dalil (qiyas), ruang bagi perbedaan pendapat lebih terbuka (ar-Risalah, hal. 353). Terhadap perkara yang tidak ditemukan nash-nya secara jelas di dalam Al-Qur’an dan Sunah, maka hukum harus ditetapkan dengan ijma’ dan qiyas.

?

Ijma’ dan Qiyas

Kedudukan ijma’ dan qiyas, menurut Imam Syafi’i, di bawah hujjah Al-Qur’an dan Sunah. Namun, dalam perkara yang tidak ada nash-nya di dua sumber primer itu, kedudukan ijma’ dan qiyas sangat penting sebagai dasar menetapkan hukum. Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid sepeninggal Rasulullah saw terhadap hukum suatu perkara yang diikuti mayoritas umat yang menganggap kesepakatan mereka sebagai hujjah syar’i yang mengikat. Imam Syafi’i mencontohkan mujtahid yang diakui otoritas fatwanya seperti Sa’id ibn Musayyab (Madinah), Atha ibn Abi Rabah (Mekkah), Hasan al-Basri (Basrah),? dan Amir as-Sya’bi (Kufah). Jika mereka bersepakat terhadap hukum suatu hal dan dinukil mayoritas umat dan diakui sebagai hujjah, itulah ijma’ (Abu Abdillah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i, Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993, juz 7, hal. 471). Ijma’ bisa terjadi dalam setiap kurun, zaman sahabat, tabi’in, dan seterusnya hingga sekarang. Namun, Imam Syafi’i memberikan catatan, kesepakatan dalam hal-hal selain prinsip (ushul/kulliyutud din) sulit terjadi, meski tidak mustahil. Sa’id ibn Musayyab, Sa’id ibn Salim, Zanji ibn Khalid, Atha ibn Abi Rabah, Hasan al-Basri, Amir as-Sya’bi, Abu Yusuf, dan Sufyan as-Tsauri merupakan figur-figur terkemuka. Namun, pendapat mereka kemudian disanggah dan dicela baik oleh ulama sezaman maupun generasi penerusnya. Artinya, ijma’ biasanya terjadi dalam hal-hal prinsip, sementara ikhtilaf dalam perkara furu’ dapat ditoleransi.





Qiyas adalah metode menetapkan hukum dengan cara mengambil padanan dalil dari perkara yang tidak ada nash-nya (ma’dum) kepada perkara yang ada nash-nya (maujud). Tidak semua perkara terdapat nash-nya, baik di Al-Qur’an maupun hadits. Nash bersifat terbatas, sementara perkara yang dihadapi manusia tidak terbatas. Kepada Mu’adz ibn Jabal, Rasulullah pernah menanyakan seandainya dia hendak memutus perkara tetapi tidak ada nash-nya di dalam Al-Qur’an dan Sunah, Mu’adz menjawab “Ajtahidu Ra’yi” (aku akan berijtihad dengan pendapatku). Rasulullah memuji Mu’adz dan? menyatakan. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah? Saw” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Ijtihad itulah yang oleh Imam Syafi’i disebut dengan qiyas. Imam Syafi’i menyatakan: “Semua perkara yang dihadapi? seorang muslim, harus ada hukumnya yang pasti atau petunjuk (dilalah) tentang hukumnya. Jika telah ada hukumnya yang pasti, harus diikuti. Jika tidak, harus dicari petunjuknya dengan jalan yang benar

melalui ijtihad. Ijtihad itulah qiyas” (Ar-Risalah, hal. 314).





Petunjuk (dilalah) itu diperoleh dari dalil. Metode menggali dalil dari perkara yang tidak ada nash-nya yang sharih disebut dengan istidlal. Dengan demikian, qiyas tidak lari dari nash. Dengan mencari benang merah atau persamaan illat dalam perkara yang ada nash-nya dengan perkara yang tidak ada nash-nya, nash tetap menjadi timbangan (mikyal/miqyas) dalam menetapkan hukum. Inilah yang membedakan qiyas Imam Syafi’i dengan istihsan Imam Hanafi dan istishlah Imam Maliki. Dalam dua metode yang ditolak Imam Syafi’i tersebut, peran nash menjadi subordinat di bawah dalih kebaikan/kemaslahatan (Lihat Al-Umm, Juz 7,“Bab Ibthalil Istihsan,” hh. 492-500).





Qiyas hanya boleh dilakukan oleh orang yang mempunyai perangkatnya, yaitu ilmu tentang hukum-hukum Al-Quran, fardhu-nya, susasteranya, nasikh-mansukh-nya, ‘am-khas-nya, dan petunjuk-petunjuknya, sunah Rasulullah, pendapat ulama dulu dan kini,

memahami bahasa Arab, mengerti perkara-perkara yang samar, dan tahu analogi? (Ar-Risalah, hal. 329, Al-Umm, juz 7, hal. 466).? ?

Dalil yang disampaikan Imam Syafi’i tentang keharusan melakukan qiyas dan bukan? istihsan atau dan istishlah adalah QS. Al-Baqarah/2: 144, “fa walli wajhaka syathral masjidil haram” (hadapkanlah wajah-mu ke sisi Masjidi Haram). Ayat ini, menurut Imam Syafi’i, menyuruh orang untuk berijtihad dalam hal tidak hadir di Masjidil Haram. Keharusan mencari arah kiblat bagi orang yang hendak salat tetapi jauh dari Masjidil Haram adalah dengan cara mencari petunjuk melalui perbintangan, arah angin, bulan, matahari, dan geografi (Al-Umm, juz 7, hal. 465). Begitu juga ijtihad. Dalam hal tidak ditemukan nashsharih dalam al-Kitab dan Sunah, maka wajib mencari petunjuk dari dua sumber itu, bukan di luar keduanya. Caranya, melalui qiyas, yaitu mencari padanan dalil berupa persamaan illat (benang merah) perkara cabang yang masih samar (khafiy) kepada perkara pokok yang sudah jelas (jaliy) hukumnya. Rukun qiyas ada empat, yaitu pokok (ashl), cabang (far’), illat, dan hukum. Pokok maksudnya perkara yang hukumnya dinyatakan oleh nash (manshus), disebut dengan al-maqis ‘alaih. Cabang maksudnya perkara yang hukumnya tidak dinyatakan oleh nash (maskut), disebut dengan maqis. Illat artinya faktor atau benang merah (mahallul wifaq) yang menghubungkan persamaan dua perkara. Hukum artinya hukum yang berlaku (tidak mansukh) dalam perkara pokok dan akan diberlakukan pada perkara cabang.





Imam Syafi’i, membagi qiyas menjadi dua, yaitu qiyas al-ma’na dan qiyas syibh (Ar-Risalah, hal. 315). Qiyas makna adalah menganalogikan perkara cabang yang illat-nya dalam satu cakupan makna dengan perkara pokok. Illat-nya bisa bersifat awlawi (illat

pada cabang lebih kuat ketimbang pada pokok) , musawi (illat pada cabang dan pokok setingkat), dan adna (illat pada cabang lebih lemah ketimbang pada pokok). Contoh, mengkiaskan memukul dengan berkata kasar, karena dua-duanya bermakna menyakiti (awlawî). Mengkiaskan membakar/menenggelamkan dengan memakan, karena dua-duanya bermakna melenyapkan (musawi). Mengkiaskan narkoba dengan khamar, dua-duanya sama-sama memabukkan (musawi). Mengkiaskan beras dengan gandum, dua-duanya sama-sama makanan pokok (musawi). Mengkiaskan apel dengan gandum, dalam riba fadl (adna). Qiyas syibh adalah menganalogikan perkara cabang kepada dua atau lebih perkara pokok yang memiliki keserupaan. Dalam hal ini, yang dipilih adalah perkara pokok yang paling banyak keserupaannya. Contoh, hukum mencederai budak dapat dikiaskan dengan hukum menyakiti orang merdeka, karena kedua-duanya manusia. Tetapi dapat pula dikiaskan dengan harta benda, karena dua-duanya merupakan hak milik. Dalam hal ini, ketimbang dengan orang, budak lebih pas dikiaskan dengan harta benda karena lebih banyak persamaannya seperti dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.? ?

?

Takhtim

Dari Imam Syafi’i, kita belajar metode memahami dalil-dalil agama. Beliau adalah pionir pengembangan ilmu ushul fiqih, yaitu ilmu untuk menggali hukum dari sumber primer agama. Sumber primer Islam adalah Al-Qur’an dan hadits, tetapi ayat Al-Qur’an tidak sejenis. Ada berbagai jenis ayat yang harus dipahami karakeristiknya sebelum menarik dalil dari Al-Qur’an. Begitu juga hadits. Tidak semua hadits bisa dijadikan hujjah karena hadits banyak jenisnya. Tidak semuanya sahih dan bisa dijadikan dasar hukum. Bahkan, banyak contoh hadits sahih isinya sekilas bertentangan dengan hadits sahih lain. Oleh Imam Syafi’i, kita dipandu untuk merekonsiliasikannya. Tidak semua perkara dinyatakan hukumnya secara jelas di dalam Al-Qur’an dan hadits. Oleh Imam Syafi’i, kita dipandu menarik dalil melalui ijma’ dan qiyas. Dari? Imam Syafi’i, kita belajar tidak gegabah dalam menyimpulkan hukum. Hal-hal yang tidak ditera secara sharih (jelas dan tegas) di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak bisa dihukumi halal dan haram sebelum melihat ijma’ dan qiyas. Panduan ini penting di tengah ‘anarki hukum’ yang mewabah kalangan umat Islam belakangan ini. Sekelompok orang dengan mudah menuding bid’ah dan menyatakan haram hal-hal yang tidak ada nash-nya di dalam Al-Qur’an dan hadits. Tindakan itu secara konyol dilakukan oleh orang-orang yang baru belajar Islam, dengan jargon hebat “Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits” tetapi tidak mengerti ulumul Qur’an dan musthalahul hadits. ?





Imam Syafi’i secara tersirat menegur mereka yang tidak cukup ilmu untuk berfatwa dan menetapkan hukum hanya bermodal satu-dua ayat, sepenggal dua penggal hadis, tanpa memahami karakteristik dan munasabah-nya dengan teks lain dan dengan maqashid al-syar’iyyah. Legacy besar sang Imam membuatnya layak menjadi madzhab Islam terbesar yang diikuti Muslim di Indonesia. Para pendiri NU secara tepat menjadikan Imam Syafi’i sebagai rujukan karena metode dan moderasinya, menurut saya, paling kompatibel dengan agenda menjahit sintesis Islam-kebangsaan.?





Penulis adalah Sekjen PP ISNU

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sholawat, Santri, Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Rabu, 02 Juni 2010

Model Dakwah NU Harus Lebih Ditonjolkan di Tengah Keberagaman

Jombang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah - Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Ali Masykur Musa menyoroti beragam model dakwah yang dipakai sejumlah kelompok pada belakangan ini. Tak sedikit kelompok tertentu yang lebih mengedepankan kekerasan dan pemaksaan daripada kedamaian juga kesadaran.

Ia menyayangkan model-model tersebut jika terus berkembang di negara Indonesia yang majemuk ini. Apalagi semisal tidak ada pihak-pihak yang mencoba memperhatikan serius.

Model Dakwah NU Harus Lebih Ditonjolkan di Tengah Keberagaman (Sumber Gambar : Nu Online)
Model Dakwah NU Harus Lebih Ditonjolkan di Tengah Keberagaman (Sumber Gambar : Nu Online)

Model Dakwah NU Harus Lebih Ditonjolkan di Tengah Keberagaman

"Saya menyayangkan selama ini kita kurang memperhatikan masalah kekerasan dan kemungkaran, sehingga bagian ini diambil oleh di luar kita," ujarnya saat sambutan dalam pelantikan ISNU Jombang di Tambakberas Jombang, Sabtu (25/3/).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dalam kondisi demikian, menurutnya, model dakwah Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini komitmen mengedepankan prinsip ukhuwah, santun dan kesadaran perlu lebih ditonjolkan ke permukaan. Hingga akhirnya masyarakat mempunyai pilihan baru dalam keberagaman yang terus berkembang.

"Ayo kader ISNU berantas KKN (kemungkaran, kekerasan, narkoba). Selama ini kita kurang aktif, dalam hal ini maka diambil oleh di luar garis NU," ujarnya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ia berharap peran dan khidmat sarjana NU dalam kondisi demikian bisa menjadi motor penggerak di lingkungan masyarakat.

Tema pelantikan yang diangkat ISNU Jombang dalam menguatkan kedaulatan NKRI sudah tepat dalam mengabdi untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Tema ini seharusnya jadi pendorong kita bekerja lebih keras lagi buat NU," pintanya. (Syamsul Arifin/Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syariah Pimpinan Pusat Muhammadiyah

KH Hasyim Muzadi Pastikan Tak Hadiri Konferensi Khilafah Internasional

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi memastikan dirinya tidak akan menghadiri Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 di Gelora Bung Karno Jakarta.

Dalam berbagai selebaran dan bulletin Jum’at yang diedarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, disebutkan bahwa KH Hasyim Muzadi akan memberikan orasi bersama dengan tokoh-tokoh Islam lainnya, meskipun ada penjelasan bahwa status kedatangannya masih dalam konfirmasi.

“Saya tak akan datang karena Nahdlatul Ulama dengan Hizabut Tahrir Indonesia memiliki perbedaan pandangan dalam konsep kebangsaan dan keindonesiaan,” tuturnya, Jum’at.

KH Hasyim Muzadi Pastikan Tak Hadiri Konferensi Khilafah Internasional (Sumber Gambar : Nu Online)
KH Hasyim Muzadi Pastikan Tak Hadiri Konferensi Khilafah Internasional (Sumber Gambar : Nu Online)

KH Hasyim Muzadi Pastikan Tak Hadiri Konferensi Khilafah Internasional

Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam Malang ini merasa perlu memberi penjelasan karena banyaknya pertanyaan, baik melalui PBNU atau pribadinya sendiri tentang acara tersebut. Kehadirannya ditakutkan bisa memberi persepsi bahwa NU mendukung khilafah Islamiyah yang dikampanyekan oleh HTI.

Meskipun sama-sama berdakwah dan berjuang untuk menegakkan ajaran Islam di muka bumi, NU dan HTI memiliki pandangan yang mendasar tentang konsep kenegaraan. NU turut berjuang dalam upaya kemerdekaan Indonesia dan akan tetap mendukung tegaknya NKRI sementara HTI berjuang mengembangkan khilafah Islamiyah.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ghozie, Sekpri Kiai Hasyim mengaku bahwa undangan untuk meminta KH Hasyim Muzadi menjadi pembicara memang sudah dikirimkan oleh panitia konferensi khilafah Internasional. “Abah memang tidak berkenan untuk hadir dalam acara tersebut,” tandasnya. (mkf)



Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Daerah, Ubudiyah, Kiai Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 01 Juni 2010

Rakernas Ke-2 KMNU Fokuskan Pembahasan Dakwah di Era Teknologi

Bandar Lampung, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-2 ? Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) resmi dibuka pada Jumat malam (1/4), di Pondok Pesantren Marfaatuddiniyyah Al-Islamiyah Kaliawi Bandar Lampung. ? Meskipun hujan mengguyur sepanjang malam, acara yang secara resmi dibuka Rais Syuriyah PBNU,? ? KH. Ishomuddin ini berlangsung khidmat dengan diawali lantunan lagu Indonesia Raya dan dilanjutkan Syubbanul Wathan dan Mars KMNU oleh para peserta.

Agenda Rakernas yang mengusung tema "Revitalisasi Peran Mahasiswa NU dalam Dakwah di Era Teknologi Guna Memperkuat Pilar-pilar Bangsa" ini dihadiri 58 peserta perwakilan KMNU dari 12 Perguruan Tinggi di Indonesia. Rencananya, ? acara ini akan berlangsung selama tiga hari, Jumat-Ahad, (1-3/4).

Rakernas Ke-2 KMNU Fokuskan Pembahasan Dakwah di Era Teknologi (Sumber Gambar : Nu Online)
Rakernas Ke-2 KMNU Fokuskan Pembahasan Dakwah di Era Teknologi (Sumber Gambar : Nu Online)

Rakernas Ke-2 KMNU Fokuskan Pembahasan Dakwah di Era Teknologi

Dalam sambutannya, KH Ahmad Ishomuddin kembali mengingatkan tugas mahasiswa NU untuk menjaga perjuangan nilai-nilai Aswaja, terutama di kampus-kampus yang mulai didominasi oleh aliran-aliran Wahabi dan Salafi. Beliau menjelaskan pilar- pilar yang harus dimiliki seluruh mahasiswa NU untuk merebut kembali dominasi tersebut. ? Pilar- pilar yang dimaksud di antaranya, At-taaruf bi nahdlatil ulama (Mengenal seluk-beluk Nahdlatul Ulama), Al-mujahadah bi Nahdlatil Ulama (Bersungguh-sungguh), As-sobru bi Nahdlatil Ulama ? (sabar dalam berjuang) dan terakhir At-tsiqotu bi nahdlatil ulama (teguh berkeyakinan).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kiai yang akrab dipanggil Gus Ishom ini mengukapkan keyakinannya yang tinggi bahwa nantinya akan lahir dari kader-kader KMNU ini yang berjuang meneruskan estafet kepemimpinan dan kepengurusan di tubuh NU ke depan.? (Red)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Habib, Pertandingan Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah