Sabtu, 31 Januari 2015

Hati-hati Terjerumus Tiga "F"!

Grobogan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di zaman sekarang umat Islam harus lebih berhati-hati dan menjaga keluarga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Anak-anak kita perlu pendapat pemantauan supaya tak terjerumus ke dalam efek negatif 3 F, yakni food (makanan), film dan fashion (mode pakaian).

Demikian disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qur’any, KH. Abdul Karim asal Solo saat memeberikan tausiyah kepada para pengunjung saat memperingati hari lahir (Harlah) NU yang ke-88 di terminal Angkudes, Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, Kamis (6/2) malam.

Hati-hati Terjerumus Tiga F! (Sumber Gambar : Nu Online)
Hati-hati Terjerumus Tiga F! (Sumber Gambar : Nu Online)

Hati-hati Terjerumus Tiga "F"!

Pertama, food (makanan). Di era globalisasi zaman akhir, manusia tak lagi memperhatikan terhadap apa yang ia makan, acuh mengenai halal-haram suatu makanan. Padahal, makanan sangat berpengaruh sekali bagi kesehatan dhahir, terlebih kesehatan batin.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kedua, film. Berbagai kemudahan mengakses jaringan informasi dapat memberikan dampak yang buruk terhadap perkembangan otak anak. Seseorang harus mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika orang tua lalai dalam mengontrol dan memantau keseharian anak, maka bisa mengakibatkan runtuhnya akhlak si anak tersebut.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Jikalau di HP anak-anak kalian ada video dan gambar habib syekh dan para ulama, berarti slamet dari propaganda non-Islam. Sebaliknya, jikalau di dalam HP anak-anak panjenengan terdapat video dan gambar artis, ini perlu segera diobati dan dikawal ketat supaya selamat dunia dan akhirat,” tuturnya.

Sedangkan yang ketiga adalah fashion (mode pakaian). Banyak wanita yang mengumbar aurat di sana-sini dan memerkan hal yang sangat sentisitif bagi umumnya orang.

“Dengan wasilah shalawat malam hari ini, semoga kita mendapatkan berkah dan dilindungi dari hal negatif yang tidak diridhoi oleh Allah,” pungkasnya. (Asnawi Lathif/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Santri Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Jumat, 30 Januari 2015

KH Mutawakkil Alallah: Dengan Kaderisasi, Organisasi Bisa Berkesinambungan

Malang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menyelenggarakan Pendidikan Kader Penggerak NU atau PKPNU Angkatan I di Pondok Pesantren Bahrul Maghfiroh Malang, Jum’at-Ahad (8-10 /1). ? Ketua PWNU Jawa Timur KH Mutawakkil Alallah membuka acara ini secara resmi.

KH Mutawakkil Alallah menyampaikan, kaderisasi merupakan ? tahapan yang sangat penting dalam organisasi. “Dengan kaderisasi organisasi bisa berjalan dengan berkesinambungan,” katanya dalam sambutan pembukaan, Jum’at (8/1).

KH Mutawakkil Alallah: Dengan Kaderisasi, Organisasi Bisa Berkesinambungan (Sumber Gambar : Nu Online)
KH Mutawakkil Alallah: Dengan Kaderisasi, Organisasi Bisa Berkesinambungan (Sumber Gambar : Nu Online)

KH Mutawakkil Alallah: Dengan Kaderisasi, Organisasi Bisa Berkesinambungan

Menurutnya PWNU Jawa Timur berkomitmen untuk melakukan kaderisasi di seluruh cabang (PCNU) dan anak cabang (MWCNU) di lingkungan PWNU Jawa Timur.?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Untuk itu sebelum dilakukan kaderisasi di level cabang dan MWC maka pengurus PWNU haruslah di kader terlebih dahulu,” katanya.?

Kegiatan kaderisasi ini diikuti oleh 55 peserta. “Saya berharap 55 peserta yang berasal dari unsur syuriyah, tanfidziyah, lembaga dan badan otonom ini bisa mengikuti PKPNU secara utuh dan tuntas," pungkasnya.?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hadir para nara sumber dan instruktur PKPNU dari Jakarta antara lain KH Asad Said Ali, Abdul Munim Dz, Enceng Shobirin, Adnan Anwar dan Amir Maruf. Kegiatan akan berlangsung sampai Ahad malam yang diakhiri dengan prosesi baiat peserta. (Red: Anam)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Khutbah, AlaSantri, Pertandingan Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 27 Januari 2015

Ini Sikap PWNU Jawa Tengah Terkait Demo 4 November

Semarang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah?

Terkait dengan aksi demo yang akan dilakukan 4 November diperkirakan tidak hanya akan terjadi di Jakarta. Di beberapa kota di Jawa Tengah dikabarkan akan menggelar aksi serupa.

Ini Sikap PWNU Jawa Tengah Terkait Demo 4 November (Sumber Gambar : Nu Online)
Ini Sikap PWNU Jawa Tengah Terkait Demo 4 November (Sumber Gambar : Nu Online)

Ini Sikap PWNU Jawa Tengah Terkait Demo 4 November

Berdasarkan rilis yang diterima Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kamis (3/11) siang, PWNU Jawa Tengah menggelar rapat, Rabu (2/11) malam.?

Rapat yang dihadiri Ketua PWNU Jawa Tengah KH Abu Hapsin, jajaran Rais Syuriyah, lembaga dan banom berlangsung di Kantor PWNU Jawa Tengah, Jalan Dr. Cipto 180, Semarang, menghasilkan pernyataan:

1. Sikap PWNU Jawa Tengah sejalan dengan seruan PBNU;?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

2. Bagi NU, definisi jihad/pembelaan terhadap agama telah lama dirumuskan oleh para Masyayikh NU, jadi wujudnya tidak harus diekspresikan dalam bentuk demonstrasi (khususnya 4 November);?

3. Berharap agar aksi tanggal 4 November 2016 merupakan aksi terakhir serta mempercayakan penuh proses hukumnya kepada pihak Kepolisian;

4. Seluruh pengurus, kader dan warga NU agar tetap berkonsentrasi pada khidmah organisasi dan masyarakat serta tetap meminta petunjuk dan bimbingan pada para Kiai di lingkungan sekitarnya;

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

5. Agar umat Islam semakin memperbayak istighotsah, dzikir, sholawat serta berdoa untuk keselamatan bangsa.

(Kendi Setiawan/Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Warta, Ubudiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 11 Januari 2015

Pengurus SI Hijaz Termuda

Di balik setiap peristiwa-peristiwa penting sejarah, tentu terdapat nama-nama yang melambung. Nama-nama yang kemudian menjadi terkenal dan menjadikan figur-figur tertentu sebagai idola dan panutan di kemudian hari. Nama-nama inilah yang kemudian disebut sebagai tokoh. Beberapa di antaranya bahkan melegenda dan bertahan hingga beberapa generasi.

Namun tentu saja, tidak semua nama-nama yang terlibat dalam setiap peristiwa penting, kemudian ikut menjadi nama penting yang selalu disebut-sebut khayalak setelahnya. Di balik berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), terdapat nama-nama besar yang kemudian melegenda dan dikenang hingga beberapa generasi. Namun tentu saja ada nama-nama yang juga sangat berperan dalam proses kelahiran NU sembari tetap menjadi nama-nama yang bersahaja dan merakyat. Tetap menjadi nama yang tidak menimbulkan rasa menjauh dari dunia kelahirannya. Salah satu di antara nama-nama yang tetap menjadi dekat dengan rakyat, tetap menjadi nama rakyat adalah KH Abdul Chalim bin Kedung, Leuwimunding Majalengka.

Pengurus SI Hijaz Termuda (Sumber Gambar : Nu Online)
Pengurus SI Hijaz Termuda (Sumber Gambar : Nu Online)

Pengurus SI Hijaz Termuda

Ulama kelahiran tahun 1898 ini merupakan bagian sejarah besar. Namun tidak serta-merta menjadikan dirinya melambung manjauh dari rakyat kebanyakan. Meski namanya tercatat dalam berbagai peristiwa penting, namun KH Abdul Chalim tetap dikenal sebagai bagian dari rakyat kebanyakan.

Pentingnya Solidaritas Sosial dan Moderat .

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hal ini dikarenakan KH Abdul Chalim menerapkan prinsip-prinsip solidaritas sosial sepanjang hidupnya. Solidaritas (ashobiyyah) inilah yang juga dididikkan kepada setiap santrinya. Solidaritas yang dianaut oleh KH Abdul Chalim ini berlaku dalam kelompok kecil maupun komunitas yang besar. Menurut KH Abdul Chalim, Solidaritas sangatlah penting dalam mempererat jalinan hubungan di antara komunitas-komunitas agama maupun politik. Tujuan gerakan keagamaan tidak akan tercapai tanpa adanya solidaritas politik.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Prinsip solidaritas juga perlu diterapkan sepanjang masa karena solidaritas merupakan salah satu barometer keseimbangan ibadah. Di mana ibadah yang dilakukan dengan benar sesuai dengan ketentuan syara’ dapat mendekatkan diri kepada Allah. Namun agar tidak terjebak dalam pengertian ibadah yang sempit, yakni ritual semta. Maka perlu dilakukan sebuah penyeimbangan. Nah menurut KH Abdul Chalim, penyeimbangan ini dapat dilaksanakan dengan terus menumbuhkan solidaritas dalam setiap sendi umat Islam.

Solidaritas ini sendiri, dapat berupa solidaritas politik maupun solidaritas sosial. Solidaritas politik artinya solidaritas bersama umat Islam untuk mencapai tujuan-tujuan kenegaraan dan kebangsaaan. Sedangkan solidaritas kemasyarakatan adalah? kebersamaan umat Islam dalam menciptakan harmonisasi kehidupan sehari-hari. Sehingga kehidupan umat Islam tidak monoton, memandang nilai ibadah bukan hanya dari sisi ibadah ritual mahdah saja. Namun keseluruhan kehendak dan usaha untuk mewujudkan kehidupan yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah juga merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT.

Dalam pandangan KH Abdul Chalim, kepasrahan total dan tawakkal kepada Allah SWT adalah hal yang senantiasa diri dan seluruh keluarga serta murid-muridnya. Namun demikian, KH Abdul Chalim juga sangat mengedepankan kompromi dalam mencapai kesepakatan-kesepakatan melalui musyawarah.

Sifat terbuka yang dimiliki oleh KH Abdul Chalim ini tidak lepas dari pengaruh yang ditorehkan oleh guru tercintanya, KH Wahab Hasbullah Jombang. Selama berguru kepada KH Wahab Hasbullah, Abdul Chalim telah mendarmabhaktikan hidupnya demi perkembangan ilmu di kalangan para santri. Di mana Nahdlatul Wathan merupakan tempat yang sangat baik bagi Abdul Chalim dalam berguru dan menularkan kemempuan ilmiahnya.

Pendekatan ilmiah terhadap masyarakat dengan interaksi sosial keagamaan dalam Nahdlatul Wathan merupakan salah satu sumbangsih KH Abdul Chalim. Bagi KH Abdul Chalim pendekatan sosial kepada masyarakat untuk menerapkan kaidah-kaidah keilmuan syariat bagi kehidupan masyarakat menupakan sebuah terobosan yang sangat urgen dalam menyebarkan konsep-konsep keislaman yang membumi.

Kondisi perjuangan fisik kala itu menjadikan konsep-konsep yang ditawarkan oleh KH Abdul Chalim dapat diterima oleh rekan-rekannya di Nahdlatul Wathan. Konsep-konsep yang dimaksudkan sebagai pendekatan sosial adalah membuat perbandingan-perbandingan kiasan antara kondisi-kondisi yang digambarkan dalam kitab-kitab kuning dengan kenyataan hidup yang dialami oleh masyarakat Nusantara saat itu. Yakni merealisasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang dapat menaungi seluruh penduduknya dalam sebuah aturan yang disepakati bersama.

Dengan demikian, dalam pandangan KH Abdul Chalim, solidaritas warga tetap dapat dipertahankan setelah penjajahan berhasil dienyahkan dari Nusantara kelak. Pendapat-pendapatnya mengenai solidaritas masyarakat Muslim, khususnya di tanah jajahan Hindia Belanda ini didapatkannya dari pengalamannya selama berguru kepada para ulama. Sejak dari daerah sekitar tanah kelahirannya ketika kecil hingga ke darah-dararah lain di Jawa Barat maupun Jawa Timur. Di mana Pesantren Trajaya di Majalengka, Pesantren Kedungwuni di kadipaten dan Pesantren Kempek di Cirebon adalah tempat Abdul Chalim menimba ilmu semasa kecilnya.

Mendamaikan Sengketa para Senior

Pada tahun 1914 ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, Abdul Chalim berkesempatan untuk menuntut menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz. Di sanalah Abdul Chalim sempat menimba ilmu secara langsung dari Abu Abdul Mu’thi, Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang lebih tersohor dengan sebutan Imam nawawi al-Bantani.

Ketika menuntut ilmu di Hijaz inilah KH Abdul Chalim bertemu dengan berbagai ulama Nusantara dari daerah-daerah lainnya. Dari sinilah beberapa ulama ini kemudian menjadi teman sekaligus gurunya. Salah satu di antara ulama yang paling akrab sebagai teman sekaligus gurrunya ini adalah KH Wahab Hasbullah Jombang. Saat itu Abdul Chalim adalah anggota sekaligus pengurus Sarekat Islam (SI), termuda di Hijaz. Di mana SI adalah organisasi para ulama Nusantara yang berkonsentrasi untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda di Nusaantara. Melalui SI, kebijakan-kebijakan pemerintah jajahan yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan sangat merugikan rakyat, ditentang secara konstitusional. Hingga pada gilirannya, para ulama pengurus SI kemudian menggabungkan diri ke NU setelah organisasi yang terakhir ini didirikan pada tahun 1926.

Selama menuntut ilmu di Mekkah inilah sifat moderat dan kompromi sebagi ulama yang berjiwa besar ditunjukkan oleh Abdul Chalim. KH Abdul Chalim-lah yang mendamaikan KH Wahab Hasbullah Jombang dan KHR Asnawi Kudus ketika keduanya terlibat sebuah persengketaan di Hijaz. Pada waktu itu kedua ulama yang sedang bersengketa ini merupakan senior sekaligus guru dari KH Abdul Chalim. Sementara itu Abdul Chalim juga patuh ketika KH Wahab Hasbullah menegurnya karena sering memperdengarkan kidung bergaya Pasundan ketika mereka sedang mengulang-ulang pelajaran.

Kelahirannya sebagai putra tunggal seorang kuwu di Majalengka menjadikan KH Abdul Chalim tidak cangung lagi ketika dilibatkan dalam berbagai kepengurusan di SI Hijaz. Demikian pun ketika ia kembali ke Tanah Air pada tahun 1917.

Sepulangnya dari tanah Suci, KH Abdul Chalim membantu orang tuanya di kampung untuk meringankan penderitaan rakyatnya akibat penjajahan belanda yang kian hari kian kejam saja.

Abdul Chalim terhitung menikahi empat orang wanita. Pada usia 21 tahun Abdul Chalim menikahi gadis Petalangan, Kuningan sebagai isteri pertama. Tiga tahun kemudian, Abdul Chalim menikahi Siti Noor, gadis asal Pasir Muncang Majalengka. Dalam perjalanan untuk mencari penghidupan ke daerah Jakarta sebagai pelayan toko dan kuli panggul di stasiun kereta api –meski dirinya adalah anak seorang kuwu, Abdul Chalim menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak di daerah Kramat Jati Jakarta. Ketika bekerja dan membuka pengajian di Kramat jati ini Abdul Chalim di dampingi oleh Istri keduanya, Siti Noor asal Majalengka.

Sedangkan isteri keempatnya dinikahi di tengah-tengah perjuangannya mengusir penjajahan Belanda seputar berkecamuknya pertempuran Surabaya ketika Resolusi Jihad dikumandangkan. Istrei ketiganya adalah Ny. Sidik Shindanghaji dari Leuwimunding. Sebelumnya, KH Abdul Chalim telah lebih dahulu menikahi Ny. Konaah sebagai isteri ketiga.

Tahun 1921 karena ayahnya meninggal dunia, maka KH Abdul Chalim kembali ke Majalengka dan memboyong istri pertamanya yang di Petalangan ke Leuwimunding. Sementara istri keduanya telah bercerai darinya. Namun karena situasi yang semakin tidak menentu, maka Abdul Chalim memulangkan kembali isterinya ini ke Petalangan demi alasan keamanan. Sementara Abdul Chalim sendiri kemudian mengabdikan diri sepenuhnya pada dunia pergerakan dan pendidikan.



Kenalkan Aswaja Hingga Level Terbawah
. Abdul Chalim kemudian mengembara ke Surabaya untuk bergabung dengan teman-teman seperjuangannya. Di Surabaya, atas jasa Kyai Amin Peraban, Abdul Chalim bertemu kembali dengan KH Wahab Hasbullah senior sekaligus gurunya selama di Hijaz. Karena hubungan baiknnya, KH Abdul Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar di Nahdlatul Wathan di kampong Kawatan VI Surabaya. Selain mengajar KH Abdul Chalim juga dipercaya sebagai pengatur administrasi dan inisiator kegiatan belajar mengajar seta pembukaan forum-forum diskusi.

Sebagai seorang santri Pasundan yang pandai berkidung dan menguasai ilmu Balaghoh (sastra Arab kuno) maka KH Abdul Chalim kemudian banyak sekali menciptakan syair-syair berbahasa Arab untuk memompa semangat perjuangan santri-santri yang tergabung di dalam Nahdlatul Wathan.

Kedekatan KH Abdul Chalim dengan KH Wahab Hasbullah menjadikan yang pertama sebagai pengikut setia sekaligus semacam asisten bagi nama kedua. Melalui aktivitasnya di Nahdlatul Wathan inilah KH Abdul Chalim menerapkan gagasan-gagasan keagamannya tentang interaksi sosial dan solidaritas politik dan kebangsaan dalam masyarakat. Selain nahdlatul Wathan, KH Abdul Chalim juga tercatat sebagai pengajar di Tashwirul Afkar Surabaya.

Selama mengabdi di Surabaya, berkali-kali KH Abdul Chalim pulang ke Majalengka untuk menyampaikan kabar-kabar terbaru dari Surabaya yang kala itu merupakan pusat perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan kebodohan umat. Setiap pulang ke Majalengka, KH Abdul Chalim selalu mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengajarkan dan memperkenalkan faham Ahlussunnah Waljamaah. KH Abdul Chalim selalu membagi-bagikan gambar-gambar dan surat kabar Swara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat di daerah Majalengka dan sekitarnya.

Tahun 1942 ketika ormas-ormas Islam dibekukan oleh pemerintah penjajahan Jepang, KH Abdul Chalim mendapat dua tantangan besar di daerahnya. Intervensi Jepang kepada para pemuda untuk bergabung dalam pasukan militer Jepang dan kebanggan para pemuda untuk menjadi komunis merupakan dilema yang sangat sulit dihadapi.

Dalam situasi inilah KH Abdul Chalim membentuk Hizbullah cabang majalengka bersama KH Abbas Buntet Cirebon. Hizbullah Majalengka kemudian bahu membahu bersama dengan kelompok-kelompok pejuang lainnya, baik dari laskar-laskar santri maupun laskar-laskar pemuda lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada tahun 1955 KH Abdul Chalim menjadi anggota DPR dari partai NU dari perwakilan Jawa Barat. Sejak saat ini perjuangan KH Abdul Chalim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan masyarakat seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya.

Pada suatu hari tanggal 11 April 1972 M., selepas menunaikan ibadah sholat KH Abdul Chalim menghadap Ilahi dengan tenang dan dimakamkan di kompleks pesantren Sabilul Chalim Leuwimunding, Majalengka. (Syaifullah Amin, Disarikan dari buku "KH Abdul Chalim Kenapa Harus Dilupakan?" karya J. Fikri Mubarok)Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Budaya, AlaNu Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Gus Mus: Pendidikan Harus Tekankan Pembentukan Akhlakul Karimah

Jepara, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Rais Aam PBNU KH A. Mustofa Bisri menilai pendidikan nasional masih menitikberatkan pada pengajaran. Hal demikian, menurutnya, hanya menghasilkan generasi cendekia atau pandai saja, padahal seharusnya pendidikan itu membentuk akhlakul karimah.

"Pendidikan akhlakul karimah sangat penting dalam rangka menyiapkan generasi unggulan 2045. Bahkan bila ditekankan betul, insya Allah akan menjadi generasi unggulan sampai hari qiyamat," katanya dalam kuliah umum tahun akademik 2014/2015 Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) di Gedung Haji Tahunan Jepara, Rabu (29/10) kemarin.

Gus Mus: Pendidikan Harus Tekankan Pembentukan Akhlakul Karimah (Sumber Gambar : Nu Online)
Gus Mus: Pendidikan Harus Tekankan Pembentukan Akhlakul Karimah (Sumber Gambar : Nu Online)

Gus Mus: Pendidikan Harus Tekankan Pembentukan Akhlakul Karimah

Kiai yang sering disapa Gus Mus ini menekankan pendidikan harus membentuk lingkungaan yang mencintai pengetahuan sekaligus mengamalkan ilmu dan akhlakul karimah. Ia merasa prihatin melihat sekelompok orang yang mengatasnamakan agama, tetapi prilakunya tidak mencerminkan nilai dan ajaran agama.

?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

"Tidak ada generasi unggul kecuali dengan akhlakul karimah," tandas Pengasuh Pesantren Raudlatuth Thalibin Leteh Rembang.

Kepada Unisnu, Gus Mus mengharapkan perguruan tinggi milik NU ini mempunyai ciri khas sendiri dengan menciptakan cendikia berakhlakul karimah. Tidak hanya mengembangkan pengajaran di kuliah saja tetapi menekankan pendidikan akhlak.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Di hadapan ribuan civitas akademika Unisnu ini, Gus Mus juga mengajak belajar memahami banyaak bahasa. Dalam masyarakat terdapat ragam bahasa yang mengemuka sesuai komunitasnya masing-masing seperti bahasa intelektual, akademisi, sarjana bahkan bahasa alay atau gaul.

"Dengan semakin memahami banyak bahasa, kita akan semakin arif bijaksana dan tidak kagetan," tegas Gus Mus yang juga menjadi dewan penyantun Unisnu Jepara ini.

Kuliah umum bertema "Membangun Atmosfir Akademik dan Generasi yang Unggul Menyongsong Indonesia Emas 2045" diikuti ribuan mahasiswa Unisnu. Tampak hadir dalam acara ini, rektor Unisnu H. Muhtarom, ketua umum Yayasan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (YAPTINU) H. Ali Irfan dan tamu undangan lainnya.(Qomarul Adib/Abdullalh Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fragmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 10 Januari 2015

LTNNU Terbitkan Buku Mengapa Harus NU?

Boyolali, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Untuk melengkapi referensi bacaan tentang ke-NUan bagi warga NU, Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Boyolali menerbitkan beberapa buku. Di antara buku yang sudah diterbitkan berjudul Mengapa Harus NU?.

LTNNU Terbitkan Buku Mengapa Harus NU? (Sumber Gambar : Nu Online)
LTNNU Terbitkan Buku Mengapa Harus NU? (Sumber Gambar : Nu Online)

LTNNU Terbitkan Buku Mengapa Harus NU?

Saat ditemui Pimpinan Pusat Muhammadiyah di sela acara bedah buku "Mengapa Harus NU?", Jumat (21/3) lalu di Teras, Ketua LTNNU Boyolali Darsim Ermaya Imam Fajarudin menerangkan, buku ini berisi banyak hal mendasar tentang ke-NUan.

“Dimulai dari apa itu NU? Bagaimana sejarah berdirinya? Apa saja kontribusi NU terhadap agama, bangsa, dan negara?” kata pria yang akrab disapa Imam.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Menurut Imam, dengan mengetahui hal-hal tersebut warga NU diharapkan semakin memahami bahwa NU itu luar biasa. “Dari sini mereka akan menyadari Mengapa Harus NU?, bukan yang lain,” ujarnya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Buku Mengapa Harus NU ini disusun tim penulis dari NU Boyolali. Mereka adalah Katib Syuriyah PCNU Boyolali Kiai Joko Parwoto, Ketua LTNNU Boyolali Imam Fajarudin, Makmun Nuryanto, dan seorang pengurus cabang NU Boyolali KH Ahmad Charir.

Imam menambahkan, buku setebal 300 halaman ini dapat dipesan langsung ke pengurus LTNNU Boyolali. Hasil dari penjualan buku ini akan dimasukkan ke kas PCNU Boyolali. (Ajie Najmuddin/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtsul Masail Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kunjungi PBNU, Ulama Lebanon: Silakan Bentuk NU di Saida

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Seorang ulama asal Lebanon Syekh Syuhaib Utsman Habli bersilaturahim ke PBNU pada Selasa sore (21/2). Ia yang datang ditemani pemuda asal Palestina ditemui Ketua Umum PBNU KH said Aqil Siroj, Sekretaris Jenderal PBNU A. Helmy Faishal Zaini, dan sempat ditemui Wakil Rais Syuriyah KH Ainul Yaqin Ishaq.

Kunjungi PBNU, Ulama Lebanon: Silakan Bentuk NU di Saida (Sumber Gambar : Nu Online)
Kunjungi PBNU, Ulama Lebanon: Silakan Bentuk NU di Saida (Sumber Gambar : Nu Online)

Kunjungi PBNU, Ulama Lebanon: Silakan Bentuk NU di Saida

Menurut dia, ia tertarik berkunjung ke PBNU setelah tiga tahun sebelumnya bertemu dengan salah seorang pengurus PBNU almaghfurlah H. Slamet Effendy Yusuf di negara. Pada pertemuan tersebut Slamet bercerita tentang Islam Indonesia yang berjumlah besar dan berpaham Ahlussunah wal-Jamaah.

Syekh Syuhaib juga menganut Islam Ahlussunah wal-Jama’ah. Karena itulah dia makin tertarik. Selian silaturahim, ia ingin mengadakan kerja sama-kerja sama antara NU dan lembaganya Jam’iyyah Ulfah di Saida atau Sedon.?

Pada pertemuan itu Syekh Syuhaib dan Kiai Said membicarakan kondisi di Timur Tengah, Islam radikal, dan tradisi-tradisi dalam Islam. Kedua belah memiliki pemikiran dan pengalaman yang sama.

Sebagai bentuk kesamaan pemikiran tentang ide-ide Ahlussunah wal-Jamaah NU, Syekh Syuhaib mempersilakan mendirikan cabang NU di tempat kelahirannya di Saida.?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selepas bertemu Kiai Said, ia dihadiahi PBNU peci hitam dan baju koko. Ia langsung mengenakannya. Tak hanya itu, ia juga membeli empat kaus berlogo Nahdlatul Ulama di Toko Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk anak-anaknya. ?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Syekh Syuhaib adalah pemimpin di Jam’iyyah Ulfah Lebanon Imam dan Khotib Mesjid Ibrahim Alaihis Salam. Pada Selasa (21/2), ia telah dua hari berada di Indonesia. Selain PBNU, ia bersiluturahim ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat Rencananya dia akanberkunjung ke beberapa pesantren NU. (Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah IMNU Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Rabu, 07 Januari 2015

Ini Potensi Korupsi yang Perlu Dipahami Warga NU dan Kalangan Pesantren

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Nahdlatul Ulama (NU) memberikan perhatian serius terhadap tindakan korupsi yang seolah tak pernah habis dalam percaturan pemerintahan di negeri ini. Namun demikian, NU juga berupaya menjaga agar lembaga pendidikan pesantren tidak menjadi sasaran kasus korupsi sebab faktor kekurangtahuan.

Dalam diskusi dan bedah buku Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi yang diterbitkan oleh Lakpesdam PBNU, salah satu narasumber Alissa Wahid memaparkan berbagai kemungkinan dan potensi korupsi yang tidak disadari oleh warga NU dan kalangan pesantren.

Ini Potensi Korupsi yang Perlu Dipahami Warga NU dan Kalangan Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)
Ini Potensi Korupsi yang Perlu Dipahami Warga NU dan Kalangan Pesantren (Sumber Gambar : Nu Online)

Ini Potensi Korupsi yang Perlu Dipahami Warga NU dan Kalangan Pesantren

Menurut Alissa Wahid, berbagai perkembangan jenis korupsi dengan segala bentuknya belum dipahami secara menyeluruh oleh kalangan pesantren. Dasar inilah yang membuat dirinya bersama para aktivis antikorupsi lain mengadakan forum-forum dan gerakan pesantren dalam melawan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini.

“Dari 14 kota dengan melibatkan pesantren dan pengurus NU, sebagian besar dari mereka masih bingung menempatkan hadiah. Karena tradisi memberikan hadiah dari masyarakat kepada pesantren dan kiainya sudah menjadi kebiasaaan mulia karena untuk kebutuhan maslahat,” jelas putri sulung Gus Dur ini.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Di titik inilah menurut Alissa, kiai dan kalangan pesantren secara umum harus memahami dan bagaimana menempatkan gratifikasi dengan maslahat. Hal ini, karena saat ini kriteria korupsi tidak hanya penyelewengan materi dalam bentuk uang secara langsung, tetapi juga bisa jadi dalam bentuk hadiah yang digolongkan ke dalam gratifikasi.

“Hal lain yang bisa menjadi potensi perilaku korup juga ada ketika warga NU dihadapkan pada pemimpin maupun pemilihan calon pemimpin,” terang Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia ini.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Buku ini ditulis oleh Sekretaris Lakpesdam PBNU H Marzuki Wahid, Hifdzil Alim, dan kawan-kawan. Selain membahas tentang perkembangan terkini dan bentuk-bentuk korupsi, buku ini juga secara apik mengulas korupsi dalam perspektif fiqih atau hukum Islam menurut pandangan NU dari berbagai forum Bahtsul Masail.

“Buku ini merupakan kontribusi nyata NU dalam memerangi korupsi secara konsisten,” ujar Hifdzil Alim. Dalil-dali fiqih yang banyak diungkapkan di dalamnya membuat buku ini bisa dikatakan sebagai buku fiqih antikorupsi bagi warga NU dan masyarakat pada umumnya.

Selain Alissa Wahid dan penulis buku Hifdzil Alim, hadir juga sebagai narasumber bedah buku yaitu Aktivis Antikorupsi yang juga mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto serat Rais Syuriyah PBNU KH Ahmad Ishomuddin.

Hadir dalam peluncuran buku ini di antaranya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Waketum PBNU H. Maksum Mahfoedz, Sekjen PBNU H Helmy Faishal Zaini, Ketua Lakpesdam PBNU H Rumadi Ahmad, Sekretaris Lakpesdam PBNU H Marzuki Wahid, Anggota Komisioner Komnas HAM H Imdadun Rahmat, dan tokoh-tokoh lain. (Fathoni)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nasional, Budaya Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 05 Januari 2015

Tumbuhkan Nasionalisme, Bupati Anas Ajak Pelajar Ziarahi Pendiri Bangsa

Banyuwangi, Pimpinan Pusat Muhammadiyah



Untuk menumbuhkan rasa nasionalisme di kalangan pelajar, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengajak pelajar untuk mengikuti "Ziarah Kebangsaan". Kegiatan itu adalah berziarah ke makam para tokoh besar, yaitu proklamator dan Presiden pertama Ir Sukarno, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyari, tokoh NU KH Wahid Hasyim, dan Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"Ini sebagai upaya menanamkan rasa kebangsaan. Rasanya sudah lama anak-anak muda kita tak diajak untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dengan aktivitas selain upacara atau seminar saja. Program ini kita bikin beberapa angkatan. Angkatan pertama 50 pelajar berangkat dalam bulan ini," ujar Anas.

Tumbuhkan Nasionalisme, Bupati Anas Ajak Pelajar Ziarahi Pendiri Bangsa (Sumber Gambar : Nu Online)
Tumbuhkan Nasionalisme, Bupati Anas Ajak Pelajar Ziarahi Pendiri Bangsa (Sumber Gambar : Nu Online)

Tumbuhkan Nasionalisme, Bupati Anas Ajak Pelajar Ziarahi Pendiri Bangsa

Anas meyakini, Ziarah Kebangsaan menjadi salah satu cara efektif untuk menanamkan rasa kebangsaan. "Sepanjang perjalanan disiapkan bahan bacaan kebangsaan. Kita tumbuhkan rasa gotong-royong melalui aktivitas bersama. Kita tanamkan ini sesuai pendekatan anak muda, bungkusnya traveling tapi isinya kebangsaan," ujarnya.

Rasa kebangsaan ini, lanjutnya, relevan ditanamkan dalam situasi apapun, tidak hanya saat ada ancaman paham terorisme.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Anas menambahkan, para pelajar diharapkan bisa menyerap keteladanan dari para tokoh yang diziarahi makamnya. Pemikiran dan kiprah para tokoh besar itu telah memberi bukti besarnya rasa kebangsaan tanpa mempertentangkan antara menjadi agamis dan menjadi nasionalis.

Bung Karno, sambung Anas, yang selama ini kerap disebut sebagai tokoh nasionalis sejatinya mendasarkan nasionalismenya pada aspek religius. "Bung Karno itu presiden pertama yang mengutip ayat Qur’an saat berbicara di PBB, disaksikan seluruh dunia. Bung Karno juga meminta fatwa keagamaan dari Mbah Hasyim soal nasionalisme di era penjajahan," ujar Anas.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sedangkan KH Hasyim Asyari adalah pemimpin Islam yang mengajarkan pentingnya komitmen kebangsaan. "Mbah Hasyim menegaskan bahwa cinta Tanah Air sebagian dari iman," ujar Anas. Demikian pula KH Wahid Hasyim dan Gus Dur adalah ulama sekaligus tokoh bangsa yang rasa kebangsaan dan penghargaannya terhadap kebhinekaan tak perlu diragukan lagi.

Dari pemikiran dan kiprah para tokoh tersebut, kaum muda bisa belajar bahwa komitmen kebangsaan yang utuh harus lahir secara ideologis dan berlandaskan keimanan.

"Kita jadi tahu bahwa tidak ada perbedaan antara menjadi orang beragama yang taat pada keyakinan masing-masing sekaligus menjadi Indonesia, menjadi religius dan berkomitmen pada kebangsaan. Jembatan inilah yang kita bangun di jiwa generasi muda lewat Ziarah Kebangsaan," papar Anas.

"Sudah saatnya kaum muda menyatukan kain kebangsaan, seperti dulu pernah dilakukan bersama-sama oleh Bung Karno dan Mbah Hasyim. Semoga program ini menginspirasi," tambah Anas.

Kepala Bagian Humas Djuang Pribadi menambahkan, Pemkab Banyuwangi akan menyeleksi para pelajar untuk diikutkan program ini. "Caranya dengan mengunggah foto bertema kemerdekaan di medsos. Beri caption tentang arti kemerdekaan, lalu tandai akun @banyuwangi_kab dan @a_azwarnas di twitter dan @azwarnas.a3 di instagram dan facebook. Jangan lupa juga disertai hastag #ziarahkebangsaanbanyuwangi," ujarnya.

Lebih lanjut, Djuang mengatakan, batas terakhir pendaftaran pada tanggal 15 Agustus pukul 15.00. "Peserta terbatas 50 orang dan info lebih lanjut bisa dilihat di website banyuwangikab.go.id," (M. Sholeh Kurniawan/Abdullah Alawi)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Aswaja, Kajian, Khutbah Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 03 Januari 2015

Yang Tercatat dari Muktamar

Oleh Muhammad Al-Fayyadl

Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang digelar di Jombang, Jawa Timur, baru saja usai 5 Agustus silam.? Setidaknya ada dua fenomena menarik yang muncul dari? muktamar itu: masih besarnya kesulitan yang dihadapi NU dalam mengonsolidasi kekuatan internal organisasi serta fenomena kebangkitan “NU kultural” dalam mengawal agenda-agenda besar kebangsaan.

Seperti mengulang drama Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984, Muktamar ke-33 juga berada dalam bayang-bayang perpecahan akibat perbedaan pandangan mengenai penerapan sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) dalam pemilihan Rais Aam, jabatan tertinggi dalam kepemimpinan struktural NU. Dalam sistem AHWA, Rais Aam tidak dipilih secara langsung oleh peserta muktamar, melainkan oleh sebuah komite terbatas dari kalangan ulama sepuh yang memiliki integritas moral dan konsisten dalam berkhidmat di NU. Sistem pemilihan sepert itu dipandang mampu menyelamatkan NU dari riswah, oportunisme, dan muslihat pihak-pihak yang berkepentingan, serta menjaga NU tetap dikendalikan para ulama. Sementara itu, bagi para penolaknya, sistem AHWA dianggap tidak benar-benar tulus mengangkat marwah ulama, melainkan untuk agenda politik tertentu menghadang calon Rais Aam lain yang mendapat dukungan selama muktamar. Namun, pendukung ataupun penolak AHWA menuding satu-sama lain disetir oleh agenda politik jangka pendek, baik tingkat regional maupun nasional.

Yang Tercatat dari Muktamar (Sumber Gambar : Nu Online)
Yang Tercatat dari Muktamar (Sumber Gambar : Nu Online)

Yang Tercatat dari Muktamar

Tidak jelas siapa yang menunggangi dan siapa yang ditunggangi. Relasi kuasa yang terbangun antara umara(baca: politisi) dan ulama telah menjadi sangat rumit, kompleks, dan berlapis-lapis, sehingga tidak mudah dicandra oleh mata publik. Dalam suasana liberalisasi politik yang juga sedang menghantam NU sebagai organisasi Islam dengan massa terbesar di Indonesia, para politisi ikut berkepentingan dengan “kapal besar” NU untuk mengamankan atau memajukan kepentingan masing-masing. Perhelatan akbar, seperti muktamar itu, tak luput menjadi ajang “investasi politik” para sponsor yang memanfaatkan sentimen keulamaan untuk mengamankan posisi politik mereka.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tentunya tidak tepat menyebut politisi sebagai aktor tunggal dalam Muktamar NU kali ini. Walaupun para ulama dapat digiring ke arah kondisi tertentu yang favorable bagi kepentingan jangka pendek, selalu ada hal yang tak terduga dari figur-figur panutan warga nahdliyin tersebut. Muktamar kali ini, lagi-lagi, mempertontonkan hal itu. Drama tetesan air mata Gus Mus membuka mata nahdliyin betapa muktamar tersebut tak melulu soal ajang berebut pucuk kuasa. Muktamar adalah soal moralitas dan integritas keulamaan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Walaupun terlambat, dan belum tentu mampu menyelamatkan organisasi, jalan sunyi Gus Mus menyingkap sebuah permasalahan yang masih melilit ormas Islam terbesar itu, yakni sulit mengambil sikap independen lebih tegas terhadap kultur pragmatis dengan mengalihkan kekuatan modal kulturalnya untuk hajat umat yang lebih pokok dan substansial.

Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu bermain pada aras suprastruktural dengan mendayagunakan kekuatan-kekuatan yang dimiliki untuk mengintervensi grand design kebangsaan yang dipandang lebih cocok dalam melindungi kemaslahatan umat secara ekonomis, politis, ideologis, kultural, dan keagamaan. Hal tersebut, misalnya, tercermin dari penerimaan NU terhadap Pancasila pada Muktamar 1984. Modal kultural bagi kekuatan ini adalah hubungan organik antara ulama dan umat, serta kepercayaan pada peran ulama dalam membawakan aspirasi-aspirasi keumatan. Pada kenyataannya, secara eksternal, para ulama dapat berfungsi cukup kuat sebagai kekuatan pengimbang terhadap pelbagai kekuatan yang selama ini menentukan hajat hidup orang banyak—negara, partai politik, modal asing, dan lain-lain. Itu tercermin dari peran ulama NU pada masa Orde Baru dan peran NU di zaman kolonial dalam upaya melindungi umat dari persaingan dengan para pemodal Belanda dan China. Kendati secara eksternal cukup disegani, secara internal para ulama tidak selamanya mampu menjadi faktor integratif bagi kepentingan organisasi, terlebih bagi pemenuhan hajat pokok umat. Sering terjadi perbedaan pendapat cukup tajam dan sering kali pula tidak terdamaikan akibat hadirnya beragam orientasi politik dan ekonomi.

Persoalan barangkali sudah semestinya tuntas sejak NU kembali ke Khittah pada 1984 dengan menarik diri dari politik kepartaian dan menegaskan diri sebagai organisasi sosial-keagamaan. Namun, secara “kultural”, NU belum benar-benar ber-Khittah, karena masih memanfaatkan modal kultural keulamaan untuk mendayagunakan kekuatan-kekuatan politik yang ada guna mencapai tujuan-tujuan organisasi. NU tetap berpolitik “dari pintu belakang” dengan melakukan hegemoni atas sumber daya politik yang ada, baik formal maupun informal serta di pemerintahan maupun nonpemerintahan, untuk mewujudkan apa yang menjadi idealisme dan cita-cita besarnya. ?

Di ruang abu-abu itu, pertarungan dan adu-kekuatan antara haybah (wibawa) keulamaan dan kepentingan instrumental-pragmatis sumber daya politik tersebut diuji. Jika para ulama dapat mendikte kepentingan instrumental-pragmatis, maka besar kemungkinan para ulama dapat menjadikan aktor-aktor pragmatis itu kendaraan untuk mewujudkan agenda-agenda besar keumatan. Sebaliknya, jika para aktor pragmatis berhasil mendikte para ulama, maka agenda-agenda keumatan akan tergadaikan dan menjadi bancakan para aktor pragmatis; NU akan terjerat dalam pusaran kepentingan jangka pendek.

Permainan tersebut terbukti sarat risiko. Para ulama bisa saja terbuai bujuk-rayu para aktor pragmatis yang memiliki seribu satu cara untuk meluluhkan hati mereka agar menerima proposal-proposal yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan kepentingan umat, bahkan justru merugikan umat. Dalam suasana neoliberalisasi seperti saat ini, para ulama dapat dengan mudah terkooptasi skema-skema yang didesain oleh para pemodal besar (dan bukan sekadar aktor pragmatis “biasa”), yang bermain dari balik layar dengan memanfaatkan ulama sebagai “bumper” bagi kepentingan bisnis mereka. Para pemodal tersebut dapat bekerja sama dengan politisi yang memiliki kedekatan atau hubungan? kekerabatan dengan para ulama. Dengan kata lain, para aktor pragmatis dapat dengan mudah memuluskan sekaligus menjalankan agenda yang dimiliki berkat dukungan kultural yang diperolehnya.

Pelajaran terpenting dari Muktamar kali ini barangkali adalah perlunya dirumuskan sebuah konsepsi “khittah” yang lebih aktual dengan konteks kekinian, yaitu konteks dunia neoliberal tempat kepentingan politik niscaya bersenyawa dengan kepentingan ekonomi. Konsekuensinya, berpolitik hari ini menjadi identik dengan memiliki dan menguasai sumber daya ekonomi. “Khittah 1984” mampu melepaskan NU dari jeratan politik formal kepartaian dan memungkinkan NU memiliki ruang bebas memerankan sepak terjang tanpa baju partai politik, sedangkankhittah di masa kini juga seharusnya mampu melepaskan NU dari jeratan “politik” dagang yang diakui maupun tidaktelah memfasilitasi proses politik dalam bentuk formal serta? informal.

Perlu dibuka diskursus di kalangan ulama mengenai dampak bila ulama merestui atau menyetujui, misalnya, seorang calon anggota parlemen maju sebagai kepala daerah. Konsesi-konsesi apa yang akan diberikan si calon kepada para pengusaha besar dan kebijakan-kebijakan apa yang potensial dilahirkan si calon terhadap perubahan tata ruang, alih fungsi sumber daya, alokasi anggaran publik, dan lain-lain. Perlu dibuka wacana di tengah-tengah ulama mengenai sumber-sumber dana yang diperoleh para politisi, pertanggungjawaban dana tersebut, serta sanksi moral yang keras terhadap perilaku korupsi. Dengan demikian, “politik kebangsaan” NU mendapatkan wujud konkret dalam bentuk pengawasan publik terhadap segala aspek yang perlahan tapi pasti membawa dampak merugikan (mafsadah) bagi umat dan bangsa secara keseluruhan.

Merasuknya politik pragmatis di jaringan struktural NU merupakan akibat dari “politik akomodasi” yang dijalankan NU terhadap aktor-aktor negara dan pasar. NU pernah menjalani orientasi politik seperti itu sejak 1957 sampai 1961 dengan mengakomodasi? “Demokrasi Terpimpin”, yang kemudian melahirkan lapisan elite NU yang memiliki akses dan kedekatan dengan pengusaha, militer, serta pejabat tinggi negara. Meski kedekatan dengan rezim itu menguntungkan NU dengan kemampuannya mempertahankan dukungan kuat massa, di tengah konstelasi ideologi-ideologi besar saat itu (Nasakom), secara internal kedekatan itu juga menyeruakkan dan mempertajam friksi di kalangan NU, dari progresif hingga konservatif, yang menghendaki lebih kuatnya independensi NU terhadap rezim dan persatuan internal yang lebih kondusif bagi perwujudan cita-cita luhur organisasi (Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, LKiS, 2003, hal. 307).

Perlunya evaluasi serta otokritik terhadap strategi politik suprastruktural yang diperankan NU saat ini, dengan akomodasi lunaknya terhadap rezim serta akomodasi organisasi massa Islam ini atas pelbagai fasilitas yang dimungkinkan oleh iklim politik yang mengalami liberalisasi sedemikian cair, barangkali mendorong perlunya memikirkan sebuah kemungkinan pendekatan politik yang lebih dekat dengan cita-cita pemberdayaan NU untuk warga nahdliyin; pendekatan politik partisipatif-kewargaan,lintas-golongan, berjejaring, dan memiliki akar keprihatinan pada kondisi riil di tingkat basis. Pendekatan politik tersebut? berorientasi pembebasan dan pemberdayaan warga nahdliyin di tingkat akar rumput yang sekian puluh tahun nyaris tidak mengalami perubahan hidup yang berarti dan cenderung semakin rentan terjatuh pada pemelaratan, pemiskinan, dan deprivasi sosio-ekonomi.

Fenomena menarik lain di sekitar arena Muktamar NU kemarin adalah banyaknya “muktamar” sampingan (side-events) yang melibatkan kaum muda NU dari berbagai latar belakang. Mereka mendiskusikan persoalan-persoalan bangsa tidak lagi dari perspektif perebutan kuasa, melainkan dari perspektif pemberdayaan—melalui isu-isu perburuhan, sumber daya alam dan agraria, bonus demografi, anti-korupsi, demokrasi versus neoliberalisme, HAM, resolusi konflik, new media, seni tradisi, dan masyarakat adat. Berbagai pemetaan yang dilakukan atas persoalan riil keumatan, yang jauh dari jargon-jargon besar, seperti menandai suatu gelombang kesadaran baru di kalangan generasi muda nahdliyin akan perlunya sebuah pendekatan politik baru yang belum tertampung dalam strategi “tradisional” politik suprastruktural yang diperankan tokoh-tokoh NU. Bagaimana kaum muda NU mampu mengambil peran lebih hegemonik terhadap isu-isu kebangsaan di tubuh NU, dan mendorong lahirnya perubahan yang signifikan terhadap orientasi politik NU, merupakan sebuah pertanyaan yang menarik untuk dilihat jawabannya pada tahun-tahun mendatang.***



Muhammad Al-Fayyadl, Peninjau pada Muktamar NU ke-33, Peserta Musyawarah Besar (Mubes) Kaum Muda NU Jombang. Ia Alumnus Master "Philosophie et critiques contemporaines de la culture", Université Paris VIII, Prancis.

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Daerah, Pahlawan, Lomba Pimpinan Pusat Muhammadiyah