Senin, 28 Maret 2016

Wayang, Karya Para Wali yang Menyimpan Berkah

Bantul, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Wakil Ketua PWNU DI Yogyakarta M. Jadul Maula meyakini bahwa wayang adalah karangan para wali yang pasti ada berkahnya. Menurutnya, pesan para wali tidak semata-mata terdapat pada dialognya, tapi juga pada tokoh yang terinternalisasi dalam diri kita.

Hal itu dikatakannya saat mengisi acara Seminar Nasional bertajuk Wayang dan Krisis Manusia Nusantara, Senin (17/11) siang, di Aula Pesantren Kaliopak Piyungan Bantul. Hadir pula sebagai pembicara Wakil Katib Syuriah PBNU KH Yahya Cholil Staquf, yang juga Pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang; dan Guru Besar Antropologi UGM Prof Dr Heddy Shri Ahimsaputra.

Wayang, Karya Para Wali yang Menyimpan Berkah (Sumber Gambar : Nu Online)
Wayang, Karya Para Wali yang Menyimpan Berkah (Sumber Gambar : Nu Online)

Wayang, Karya Para Wali yang Menyimpan Berkah

Menurut Kang Jadul, panggilan akrabnya, meski saat ini banyak yang tidak bisa memahami bahasa yang digunakan dalam pagelaran wayang, ia memandang bahwa alasan itu adalah alasan yang manja. Hal itu terbukti dengan Al-Qur’an yang walaupun tidak semua dapat memahami tapi tidak ada yang menghindari. “Kenapa? Karena ada aspek lain di luar kognitif, yaitu aspek spiritual” tandasnya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ia menambahkan bahwa dengan alasan seperti itu berarti kita sudah mulai tidak adil dalam pikiran kita sendiri terhadap tradisi kita. “Inilah yang menjadikan krisis jati diri pada manusia nusantara. Orientasi jati diri bangsa kita saat ini adalah orang Islam pengen jadi Arab, ABG pengen jadi Korea, dan Politisi orientasinya ke Amerika,” ungkapnya dengan nada prihatin.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Oleh karenanya, sosok yang juga Pengasuh Pesantren Kaliopak itu yakin bahwa wayang dapat menjawab krisis manusia yang selama ini tidak lahir dari diri sendiri dan hanya mencerna dari luar.

Sementara itu menurut Prof Dr Heddy Shri Ahimsaputra, jika dikaji secara antropologi wayang merupakan model of kehidupan atau cermin kehidupan manusia. Karena di sana terdapat pergulatan yang terus menerus antara kebaikan melawan keburukan, sehingga wayang menjadi alat penjelas yang dapat memberikan makna tentang kehidupan.

Selain itu, lanjutnya, wayang juga merupakan model for, model untuk kehidupan manusia. Dengan kata lain, orang Jawa dapat menggunakan wayang sebagai blueprint kehidupan sehingga mengetahui apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. (Dwi Khoirotun Nisa’/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Cerita, Tokoh, Aswaja Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Selasa, 15 Maret 2016

PCINU Taiwan Dinilai Layak Jadi Percontohan

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mantan Wasekjen PBNU M Imdadun Rahmat memuji keaktifan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan terkait pengalamannya berkunjung ke kantor PCINU setempat di Taipei, kota terbesar di Taiwan.

PCINU Taiwan Dinilai Layak Jadi Percontohan (Sumber Gambar : Nu Online)
PCINU Taiwan Dinilai Layak Jadi Percontohan (Sumber Gambar : Nu Online)

PCINU Taiwan Dinilai Layak Jadi Percontohan

“Saya kira kantor PCINU Taiwan lebih aktif daripada kantor NU di Jawa,” katanya saat berkunjung ke Kantor Redaksi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lantai 5 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Rabu (24/2) petang. Imdad berkisah berdasarkan pengalamannya berkunjung ke Taiwan pekan lalu dan tiba di Jakarta Senin kemarin.

Ia berkunjung ke kantor PCINU Taiwan ketika para pengurus sedang ada menggelar rapat rutin. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ini juga menyaksikan sendiri kegiatan tabligh akbar atau pengajian dua mingguan dengan pembicara dan pembaca shalawat yang didatangkan langsung dari Indonesia.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Bagi Imdad, menggelar tabligh akbar sebulan dua kali merupakan langkah yang luar biasa. Apalagi, hal itu dilakukan dengan penuh kemandirian. Menurut informasi yang ia terima, PCINU Taiwan juga sanggup membayar sewa gedung kantor sekitar 16 juta rupiah per bulan dari hasil uang iuran anggota.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Baru-baru ini aktivis PCINU Taiwan juga sukses menciptakan aplikasi yang diberi nama "Taiwan Halal". Perangkat ini diharapkan mampu menjadi solusi umat Islam, baik pekerja, pelajar, maupun wisatawan, yang menginginkan produk dan pelayanan halal di negeri berjuluk "Formosa" itu.

Imdad berpendapat PCINU Taiwan layak menjadi percontohan. Ia juga memberi apresiasi kepada PCINU di seluruh dunia yang berupaya menjaga eksistensi NU di luar negeri. Menurutnya, PCINU lebih dari sekadar perkumpulan, melainkan juga tempat pemersatu warga negara Indonesia di luar negeri, wadah pemecah masalah bersama bagi para perantau, dan sejenisnya. (Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Warta Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Minggu, 13 Maret 2016

Survei Menunjukkan Wahabi Tidak Diminati di Kota

Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hasil survei terbaru yang menunjukkan sebanyak 58,8 warga muslim di perkotaan menyatakan sebagai bagian dari warga nahdliyin (NU) menunjukkan bahwa model Islam ala Wahabi tidak diminati oleh masyarakat masyarakat muslim kota.

Survei Menunjukkan Wahabi Tidak Diminati di Kota (Sumber Gambar : Nu Online)
Survei Menunjukkan Wahabi Tidak Diminati di Kota (Sumber Gambar : Nu Online)

Survei Menunjukkan Wahabi Tidak Diminati di Kota

“Survei itu dengan demikian mematahkan asumsi bahwa setiap terjadi modernisasi di perkotaan menjadi lahan subur Islam puritan dan Islam radikal yang dipengaruhi oleh paham Wahabi dari luar. Artinya Wahabi tidak terlalu laku,” kata Wakil Sekjen PBNU Adnan Anwar kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jakarta, Ahad (8/6).

Menurut mantan peneliti LP3ES, survei semakin mengukuhkan bahwa Islam ala NU menjadi model yang mainstream di Indonesia, baik di kalangan pedesaan maupun pekotaan. Islam yang memiliki tradisi malah lebih disukai masyarakat, dan terbukti perkembangannya makin besar.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dikatakannya, fenomena munculnya kelompok ekstrem atau dalam istilah sosiologi disebut kelompok true deliver yang seringkali muncul sebetulnya lebih karena merespon dari modernisasi.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Namun biasanya itu tidak bertahan lama dan lebih bersifat sesaat. Jadi kelompok ektremis tidak akan lama dan tidak akan membesar, bersifat sesaat, karena tidak cocok dengan situasi masyarakat,” tambahnya.

Kamis (5/6) lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah melansir hasil survei yang dilakukan oleh Alvara Research Center yang dilakukan pada tanggal 18 hingga 28 Mei 2014 di 10 kota terhadap 1.400 responden muslim berusia 20-54 tahun.

10 kota ang dituju adalah Jakarta, Bandung,Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Pekanbaru, Balikpapan, Banjarmasin dan Makassar. Metode sampling yang digunakan adalah stratified random dengan margin error sebesar 2,4%.

Alvara adalah sebuah biro riset dan konsultasi di bidang pemasaran dan sosial politik yang merupakan anggota Perhimpunan Survei Opini Pubik Indonesia (Persepi) dan Perhimpunan Riset Pemasaran Indonesia (Perpi). Di bidang politik, lembaga ini telah mempublikasikan hasil-hasil survei dari aspirasi politik kelas menengah urban.

Hasil Survei Alvara terbaru yang dipresentasikan di Jakarta Kamis (5/6) lalu menunjukkan, sebanyak 58,8 warga muslim di perkotaan mengaku nahdliyin. Yang lain mengaku warga Muhammadiyah (9,2%), Persis (0,7%), LDII (0,3%), HTI (0,2%), FPI (0,1%) dan ormas lainnya (0,4%). Sisanya menyatakan buan bagian dari ormas Islam manapun.

Secara lebih rinci, tim survei juga menanyakan kepada para responden muslim kota mengenai beberapa ritual, apakah mereka mempraktikkan ritual tahlil, maulid, qunut subuh, ziarah kubur? Hasilnya, mayoritas muslim kota mempraktikkan ritual-ritual khas nahdliyin semacam itu.

Menurut Adnan Anwar, survei Alvara itu juga telah mematahkan asumsi demografis dari para ahli, termasuk pengamat internasional bahwa basis NU hanya berada di pedesaan dan masyaraat petani.

“Artinya jadi Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) seperti dipraktikkan oleh NU itu sesuai dengan kondisi masyakat baik di pedesaan maupun di perkotaan,” katanya.

Fakta itu, antara lain, dipicu akibat terjadinya sinergi antara masyarakat yang tinggal di pinggiran kota yang menjalankan Aswaja dengan masyarakat di pusat kota yang kemudian mengikuti tradisi masyarakat agamis yang menjalankan seperti itu.

“Selain itu , kalangan NU dan pesantren juga semakin aktif mengembangkan dakwah melalui internet. Bagi kalangan muslim kota,bebagai ibadah ritual tradisional yang dulu dijalankan orang tua mereka telah dicari dan ditemukan dalil dan dasar rasionalistasnya dari internet,” kata Adnan. (A. Khoirul Anam)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hikmah, Sejarah, Ahlussunnah Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sabtu, 12 Maret 2016

Habib Lutfi Gelar Manaqib Kubro bersama Ulama Jateng

Rembang, Pimpinan Pusat Muhammadiyah . Lapangan Desa Sendang Rejo, Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Ahad (15/9) malam, dipenuhi masyarakat setempat yang menghadiri manaqib kubro bersama Rais Aam Idarah Aliyah Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah (Jatman) Habib Muhammad Luthfi bin Ali Yahya.

Perhelatan akbar tersebut digelar sebagai ajang silaturahim para ulama dan habaib se-Jawa Tengah (Jateng). Tampak hadir Mustasyar PBNU KH Maimun Zubair, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar.

Habib Lutfi Gelar Manaqib Kubro bersama Ulama Jateng (Sumber Gambar : Nu Online)
Habib Lutfi Gelar Manaqib Kubro bersama Ulama Jateng (Sumber Gambar : Nu Online)

Habib Lutfi Gelar Manaqib Kubro bersama Ulama Jateng

Salah satu panitia, M Rokib saat ditemui Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, pihaknya hanya sebagai fasilitator pertemuan dan membantu suksesnya kegiatan manaqib kubro. “Kami selaku pengurus IPNU Cabang Lasem, bertanggung jawab mensukseskan acara tingkat Jawa Tengah,” katanya.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Para pengunjung tampak hikmat dengan alunan shalawat yang didendangkan salah satu grup hadrah setempat. Kegiatan tingkat Jawa Tengah itu adalah kali kedua setelah Jatman tiga bulan lalu.

Sementara itu, Satuan Koordinasi Rayon Banser Kec Lasem, Sluke, Kragan, dan Sarang, melakukann pengawalan ketat, demi kelancaran dan ketertiban acara. Panitia juga nekerja maksimal untuk kelancaran kegiatan sebagaimana direncanakan. (Ahmad Asmu’i/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Halaqoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Senin, 07 Maret 2016

Kekhawatiran Al-Ghazali dan Fenomena Tertutupnya Pintu Ijtihad

Oleh Ach Khairie

Jika melihat kembali sejarah pencapaian Islam di masa silam, maka kita akan dikejutkan dengan kenyataan bahwa Islam pernah berhasil mencapai masa keemasan (golden age of Islam) selama beberapa abad. Islam, bahkan berhasil menguasai tiga benua yaitu Asia, Afrika dan Eropa di bawah kerajaan Turki Utsmani. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan realita hari ini, di mana Islam menjadi kekuatan besar hanya dari segi kuantitas saja, sedangkan secara kualitas masih didominasi oleh agama lain.?

Sebagian umat Islam bahkan kehilangan kebanggan terhadap agama ini karena dicap sebagai agama kekerasan. Umat Islam berada dalam keadaan seperti digambarkan Nabi dalam hadisnya yang banyak dari segi jumlah namun tidak ubahnya seperti buih di genangan air (ka ghutsâi al-sayl), tidak bisa berbuat apa-apa.

Kekhawatiran Al-Ghazali dan Fenomena Tertutupnya Pintu Ijtihad (Sumber Gambar : Nu Online)
Kekhawatiran Al-Ghazali dan Fenomena Tertutupnya Pintu Ijtihad (Sumber Gambar : Nu Online)

Kekhawatiran Al-Ghazali dan Fenomena Tertutupnya Pintu Ijtihad

Berbicara tentang kemajuan Islam di masa lalu, tidak lebih dari sekadar "meninabobokan" jika tidak disertai kesadaran merajut kembali superioritas yang pernah diraihnya. Dengan demikian pertanyaan yang tepat bukanlah "siapa Islam di masa silam?", tetapi "bagaimana Islam di masa silam?". Pertanyaan semacam ini akan menggiring terhadap upaya revitalisasi hal yang pernah dilakukan umat Islam dahulu, seperti dari aspek keilmuan, umpamanya.

Tidak disangsikan bahwa pergesekan peradaban yang terjadi antara Islam karena hasil ekspedisi dengan peradaban lain yang lebih maju seperti Romawi, Yunani dan Persia, mau tidak mau telah membawa umat Islam terhadap kesadaran akan pentingnya pengetahuan. Umat Islam sudah tidak bisa lagi bersikap stagnan dengan hanya mempelajari ilmu lokal-dogmatik seputar tafsir, misalnya, tetapi juga mesti merambah terhadap ilmu rasional seperti filsafat yang notabene dari Yunani, guna mempertahankan eksistensinya.?

Kesadaran akan semua itu dapat dilihat dengan upaya Harun al-Rasyid (w. 809), raja kelima Dinasti Abbasiyah dalam mendirikan Rumah Kebijaksanaan (Bayt al-Hikmah) yang berfungsi sebagai perpustakaan, lembaga penerjemahan dan pusat penelitian yang didirikan di Baghdad, Irak.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sedemikian pentingnya ilmu filsafat ketika itu, sehingga Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) juga belajar tentang ilmu tersebut. Tokoh yang di kalangan pesantren lebih familiar dengan gelar hujjat al-islâm ini adalah salah satu cendekiawan Muslim yang ahli dalam berbagai ilmu. Hal tersebut karena keberaniannya menyelami dalamnya ilmu yang --diakuinya sendiri-- seperti menyelami mutiara di dasar lautan, dan jika tidak mampu akan membahayakan dirinya sendiri. Al-Ghazali tidak hanya mengkomparasikan pendapat antar mazhab, tetapi lebih dari itu, ia bahkan mencari kebenaran sejati dari berbagai bidang pengetahuan tanpa terkecuali.?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dalam pengembaraannya itulah al-Ghazali tidak saja pernah mengkritik filsuf Yunani, ia juga mengkritik filsuf Muslim, ahli kalam, talîmiyah bâthiniyyah dan para sufi yang menurutnya menjadi kelompok pencari kebenaran paling otoritatif ketika itu. Karen Armstrong, seorang pengkaji agama-agama mengatakan pada akhirnya kegelisahan intelektual al-Ghazali dalam mencari kebenaran sejati yang tak kunjung dijumpanya berujung pada kesakitan yang dialaminya dan hampir terjerumus ke dalam jurang kesesatan.

Al-Ghazali tidak lagi menekuni filsafat, karena dirasa tidak bisa mencapai kebenaran yang dicarinya. Ia mencari kebenaran dengan ilmu tasawuf yang orientasinya tidak lagi beradasarkan indera dan rasionalitas semata, namun lebih menggunakan intuisi dalam menentukan kebenaran. Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa di sinilah al-Ghazali menemukan jati dirinya. Ia berhasil mencapai kebenaran yang menyembuhkan kegelisahan intelektualnya ketika menekuni tentang tasawuf, dan al-Ghazali pun menjadi seorang sufi.?

Dalam karyanya, Al-Munqidz min al-Dhalâl (Penyelamat dari Kesesatan), al-Ghazali menceritakan semua pengalamannya dalam berkelana mencari kebenaran. Dan barangkali khawatir bahwa orang lain akan mengalami kejadian yang sama seperti dialaminya, dan khawatir akan ketidakmampuan mereka melewati masa-masa sulit tersebut, ia mengatakan bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Pernyataan yang oleh kaum konservatif diterima, namun dihujat oleh kaum progresif karena pernyataan ini sama saja dengan perintah untuk bertaklid.

Meskipun demikian, penting dicatat terkait tuduhan bahwa al-Ghazali menjadi penyebab hilangnya rasionalitas dan kekritisan berpikir dalam Islam, lebih kepada tuduhan yang mengada-ada. Sementara literatur memang sering mengutip pernyataan yang disandarkan pada al-Ghazali ini, tetapi dari karya al-Ghazali sendiri terutama dalam otobiografinya, al-Munqidz min al-Dhalâl, belum ditemukan bahwa ia mengumumkan tertutupnya pintu ijtihad.

Barangkali yang menjadikannya dituduh demikian karena al-Ghazali di dalam magnum opus-nya, Ihyâ Ulûm al-Dîn, mengharamkan ilmu-ilmu rasional seperti logika, filsafat dan ilmu nujum, dan mengkafirkan filsuf Muslim sekaliber al-Farabi dan Ibn Sina. Tindakan al-Ghazali tersebut sama dengan menyatakan, meski secara implisit, bahwa pemikiran rasional tidak diperbolehkan dan karenanya pintu ijtihad sudah tertutup.

Sebenarnya, al-Ghazali tidak menghendaki hilangnya pemikiran progresif-liberal. Adalah pemahaman yang keliru jika dikatakan bahwa ia biang keladi kejumudan berpikir. Sebagaimana disinggung di awal, bahwa al-Ghazali hanya khawatir seseorang yang berusaha menyelami kedalaman ilmu juga akan mengalami kegelisahan seperti yang pernah dialaminya. Satu-satunya jalan menghindari hal tersebut adalah meniti jalan tasawuf yang intuitif.

Sebagai bagian dari tradisi pesantren, penulis memahami betul bagaimana al-Ghazali diposisikan di dalam lembaga pendidikan salaf tersebut. Ia dikenal sebagai "waliyyullâh", di mana segala perkataan serta tindakannya sudah pasti dianggap benar dan mesti diikuti. Persepsi demikian, diakui atau tidak, telah meruntuhkan kenyataan akan sisi kemanusiaan al-Ghazali di satu sisi, dan sama sekali melupakan perjuangan al-Ghazali dalam berkelana mencari kebenaran di sisi yang lain.

Demikian, hemat penulis, perbedaan penilaian terhadap al-Ghazali baik oleh berbagai kalangan, terutama kalangan pesantren, hanya melihat al-Ghazali dari wacana pemikirannya ketika sudah mencapai kebenaran dan sama sekali mengabaikan pemikirannya sebagai alat atau metode, bagaimana akhirnya ia mencapai kebenaran tersebut. Keadaan semacam ini berimplikasi terhadap konklusi bahwa rasionalitas tidak lagi dibutuhkan dalam Islam dan dianggap sebagai bidah bahkan kekafiran. Padahal, yang perlu dipahami adalah metode al-Ghazali dalam mencari kebenaran, yakni mencarinya dari titik keraguan terhadap kebenaran yang ada hingga sampai pada kebenaran yang hakiki.

Pemahaman demikian dapat dikukuhkan dari al-Ghazali sendiri ketika dalam kitabnya, Mîzan al-Amal, mengatakan, "Keraguanlah yang dapat menyampaikan pada kebenaran. Seseorang yang tidak meragukan, berarti dia tidak bernalar. Seseorang yang tidak bernalar, dia sama sekali tidak akan dapat melihat. Seseorang yang tidak dapat melihat, dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan."

Masalah akan berbeda ketika kekhawatiran al-Ghazali kepada kita disalahartikan. Tidak lagi sebagai langkah antisipasi karena tidak semua orang mampu melewati proses yang sulit seperti al-Ghazali, tetapi dipahami sebagai perintah dari seorang sufi waliyyullâh yang tidak boleh dilampaui dan perkataannya dianggap sebagai "absolute truth". Padahal seandainya dipahami sebagai antisipasi al-Ghazali saja dan langkah kehatian-hatian kita dalam proses mencari kebenaran, maka barangkali Islam tidak akan mengalami kejumudan berpikir seperti hari ini, demikian pula dengan stagnansi agama juga tidak akan terjadi.

Dengan kata lain, meniru al-Ghazali, kita dapat menggunakan epistemologi keraguan dalam maksud mencapai kebenaran sejati. Tetapi jika dirasa tidak mampu maka alternatif lain ialah dengan menempuh jalan sufisme. Sementara keyakinan akan kemampuan kita untuk melewati masa kritis saat proses pencarian kebenaran, telah menggugurkan kewajiban untuk tidak berpikir progresif-liberal dan berijtihad. Ijtihad selalu terbuka karena memang tidak ada yang menutupnya.

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata dan Mahasiswa IAT di STAIN Pamekasan.

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah IMNU Pimpinan Pusat Muhammadiyah