Rabu, 15 November 2017

STAINU Temanggung Gelar Bedah Buku Fiqih Toleransi

Temanggung, Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di tengah kesadaran masyarakat Indonesia akan kebhinnekaan, masih ada kelompok-kelompok yang belum menyadari tentang ke-ika-an. Tentu ini tantangan serius bagi keberlangsungan kehidupan bernegara sebuah bangsa yang pluralistik ini.

Untuk itu, LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) STAINU Temanggung, Rabu (15/2) menggadakan bedah buku Fikih Toleransi. Dengan menghadirkan penulis buku; Ahmad Syarif Yahya (Gus Yahya).?

STAINU Temanggung Gelar Bedah Buku Fiqih Toleransi (Sumber Gambar : Nu Online)
STAINU Temanggung Gelar Bedah Buku Fiqih Toleransi (Sumber Gambar : Nu Online)

STAINU Temanggung Gelar Bedah Buku Fiqih Toleransi

Acara bedah buku ini berlangsung menyenangkan karena pemateri menyampaikan gagasannya dengan joke-joke segar tapi tetap padat berisi dan dengan tanpa kengelanturan. Selain pemateri dan 300 perserta dari Temanggung, Magelang, Wonosobo, dan Salatiga, turut hadir dan memberi sambutan pula, Wakil Bupati Temanggung, Irawan Prasetyoadi, Kapolres Wahyu Wim, Ketua III STAINU Abdul Munjid, dan PCNU Temanggung.

Menurutnya, Fiqih pesantren itu unik, sebab materi pembelajarannya menggunakan kitab kuning yang sarat term-term umum Islam seperti: jihad, kisas, rajam, amar makruf nahi mungkar, pengkelasan kafir: dzimmi, harb, dan lain-lain.?

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

“Yang ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan materi pengajaran kaum fundamentalis. Tetapi mengapa kemudian kaum pesantren bisa menjadi toleran dan moderat,” ujar Gus Yahya yang didampingi dua panelis, Sumardjoko dan M. Syafiq.

Menurut penulis yang almuni pesantren Al-Anwar Sarang Rembang ini, kelompok santri selalu mengawal kebhinnekaan ini dengan keseimbangan antara agama dan negara dengan tidak mempertentangkannya.?

Maksud tidak mempertentangkan adalah dengan selalu beragama dan bernegara dengan seimbang. Tidak seperti kelompok kanan yang beragama dengan cara melawan negara, atau kelompok kiri yang bernegara dengan cara mengikis ajaran agama.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Diskusi menjadi menarik karena penulis memaparkan pengalaman tinggal di kampung halamannya yang sangat plural, di mana di sana sering terjadi hal semisal seorang muslim yang bapaknya non muslim kemudian bapaknya meninggal, anaknya biasanya meminta agar bapaknya yang non muslim disalati dan ditahlilkan tujuh hari, 40 hari, dan seterusnya.?

“Ini membutuhkan trik fiqih khusus, agar tidak menyinggung tetangga tapi juga tidak melanggar agama,” jelas Gus Yahya yang juga pemenang lomba esai nasional Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai juara 1, seminggu lalu.

Acara rampung pada pukul 15:40, ditutup dengan penjelasan makna Bhineka Tunggal Ika oleh Wakil Bupati Temanggung. (Haidar/Fathoni) ? ? ?

Dari Nu Online: nu.or.id

Pimpinan Pusat Muhammadiyah Doa, Cerita Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar